Sudah beberapa hari in aku dan anak-anak dijaga secara bergantian oleh beberapa tetangga dekat yang biasa kutemui di acara pengajian RW. Ada yang masih single, ada juga yang sudah memiliki anak. Alhamdulillaah mereka sangat welcome dan baik denganku. Meski sisa tabunganku dari Bapak sudah habis untuk membayar jasa mereka, tapi aku tidak masalah. Aku cukup bahagia bisa sedikit berinteraksi dengan mereka dan cukup terbantu dengan jasa yang mereka berikan.
Hanya saja setiap kali mereka pulang dan Mas Arman kembali ke rumah, ada saja hal-hal yang membuat mentalku kembali ditekan olehnya.
"Teman kamu yang jagain kamu tadi penampilannya bagus, mukanya juga cerah, gak kayak kamu, kusam. Emang bener cuma kamu yang paling buruk di antara semuanya. Sial banget aku!"
"Mereka itu dateng kesini karena kita bayar. Kalo nggak dibayar juga belum tentu mereka mau jenguk kamu. Mereka cantik-cantik, cakep-cakep, mana ada yang tulus mau temenan sama perempuan jelek dan buruk kayak kamu. Kamu sama mereka itu nggak selevel tau."
Demikian Mas Arman sering mengatakan kata-kata menyakitkan itu setelah teman-temanku pulang, dan puluhan kata-kata menyakitkan lainnya yang sering kuterima darinya.
Mungkin suamiku memang benar kalau aku perempuan yang buruk, tidak selevel dengan mereka. Akhirnya aku minder, takut, dan tidak berani ngobrol banyak hal dengan mereka karena takut salah bicara.
Aku sudah sangat lelah bahkan rasanya sudah enggan dan malas hanya sekedar untuk menyahuti perkataan Mas Arman padaku tadi.
Setiap malam Maryam bangun dan menangis, jelas hal itu sangat mengganggu tidur Mas Arman. Ia akhirnya marah karena merasa tidurnya terganggu. Tak jarang Aisyah juga ikut menangis mendengar adiknya menangis. Mas Arman paling tidak suka ada hal yang mengganggu tidurnya maka dari itu setiap malam aku selalu berusaha menenangkan dua putriku yang menangis bersamaan. Seorang diri.
Makanya setiap kali ada tetangga yang datang menjagaku, aku selalu kehabisan energi untuk sekedar berbincang atau bersenda gurau dengan mereka. Setelah mereka datang dan Mas Arman pergi, rasanya aku hanya ingin tidur dengan tenang. Tanpa takut dengan omelan Mas Arman karena tidurnya terganggu oleh kedua anaknya, tanpa takut Aisyah mendapat hukuman dari Papanya.
Di suatu malam setelah Mas Arman pulang kerja, ia pernah memberitahuku kalau di kantor ia mendapat tugas baru dari atasannya. Di mana tugas baru itu mengharuskan dia berpasangan dengan salah satu rekan kerja perempuannya yang bernama Siska.
Karena sebelumnya aku pernah diselingkuhi beberapa kali, makanya setiap kali dia berangkat kerja hatiku tidak pernah merasa tenang. Akan selalu ada pikiran macam-macam dalam benakku tentang suamiku yang pergi berdua dengan teman wanitanya.
"Hari ini kamu ngapain aja, Mas, dengan Siska? Kalian nggak macem-macem, kan?" Meskipun dengan perasaan takut, tapi selalu pertanyaan itu yang aku lontarkan tiap kali ia pulang kerja.
"Kamu nggak percaya sama aku, hah? Kamu nuduh aku yang macem-macem? Emang sebelum-sebelumnya kamu nggak bisa maafin aku? Suami capek pulang kerja malah dituduh yang enggak - enggak. Daripada dituduh terus-terusan mending aku selingkuh beneran!" Mas Arman membentakku dengan cukup keras.
Aku tidak bisa membalas kata-kata Mas Arman karena aku tahu aku juga tidak punya bukti apapun jika tetap menuduh ia selingkuh.