Enam Tahun Bertahan Dengan Suami Yang Sakit Jiwa

Nurlaila Zahra
Chapter #22

Melakukan Perlawanan

Mas Arman sempat menjanjikan Aisyah untuk pergi jalan-jalan hanya berdua saja sepulang sekolah. Katanya jika Aisyah pulang, dia minta tolong dikabari supaya ia bisa langsung segera pulang.


Aisyah sangat antusias sekali karena akan diajak jalan-jalan oleh Papanya.


"Aisyah mau pakai baju yang ini ya, Ma." Kata Aisyah sambil menunjukkan satu stel baju dan celana jeans yang akan ia kenakan saat jalan-jalan nanti.


Aku mengangguk seraya tersenyum. Ia pakai baju yang ia pilih tadi, lalu mengambil sendiri tas selempang miliknya. Ia sudah sangat siap sekali setelah makan dan berganti pakaian, ia tunggu Papanya pulang untuk menjemputnya.


Namun sudah satu jam berlalu, tapi Mas Arman tidak kunjung datang.


"Mas, kamu di mana? Ini anakmu dah nunggu lama." Ketikku pada pesan yang kukirim pada suamiku.


"Mungkin Papa masih sibuk kali sayang. Lebih baik Aisyah bobo dulu ya. Nanti kalau Papa pulang, Mama bangunkan." Bujukku supaya Aisyah mau istirahat dulu sambil menunggu Mas Arman pulang.


"Nggak mau!" Aisyah menggeleng cepat. "Aku nggak mau bobo! Nanti kalo aku bobo terus Papa pulang, nanti Papa nggak jadi ajak jalan aku." Katanya merajuk.


Aku menghela nafas panjang. Aisyah termasuk anak yang cukup keras. Jika ia punya satu kemauan, tidak ada yang bisa mengubah kemauannya itu.


"Okey Aisyah boleh nunggu, tapi jangan di ruang tamu ya? Di kamar aja nunggunya." Kataku berusaha membujuknya lagi supaya ia mau menunggu di kamar. Harapanku jika ia masih harus menunggu lebih lama lagi, semoga ia mengantuk dan akhirnya tertidur di kamar.


"Nggak mau! Aku mau nunggu di sini aja!" Ia masih kukuh sama pendiriannya.


Okelah. Sebagai ibu aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia kubiarkan menunggu Papanya pulang di ruang tamu, sampai akhirnya berjam-jam ia menunggu, tapi Mas Arman tidak kunjung kembali.


Hari sudah semakin gelap, dan Aisyahku akhirnya tertidur di karpet ruang tamu masih dengan pakaian lengkapnya yang akan ia gunakan untuk pergi bersama Papanya.


Aku menangis menyaksikan hal itu. Aku masih terus mencoba mengirim pesan dan menghubungi Mas Arman tapi tak ada pesan atau telefonku yang dibalas olehnya.


Hatiku sakit. Ia bukan hanya mempermainkan perasaanku, tapi ia juga membuat patah hati anakku.


Kupikir selama ini aku memilih tetap bertahan dengannya, selain karena aku memang mencintainya dan berharap bisa membantunya untuk berubah, juga karena aku kasihan dengan kedua anakku jika aku berpisah dengan Papa mereka. Mereka tidak bersalah, tidak boleh dilibatkan dalam urusan rumah tangga orang tuanya.

Lihat selengkapnya