Enam Tahun Bertahan Dengan Suami Yang Sakit Jiwa

Nurlaila Zahra
Chapter #23

Ingin Berpisah

Tengah malam saat kami tengah tertidur pulas, Mas Arman pulang dan membuka pintu kamar dengan kencang.


Aku terbangun mendadak.


"Kamu tau nggak kalo kamu itu wanita bodoh, tolol, jelek, nggak ada otaknya, dan nggak tau malu? Kamu sudah mempermalukan aku!!" Mas Arman memakiku dengan luapan emosi yang begitu luar biasa. Dadanya kembang kempis menahan amarah, dan aku hanya diam.


"Tapi nggak papa." Dia mulai menstabilkan nafasnya lagi. "Mulai besok aku nggak akan kerja lagi! Aku berhenti kerja! Dan itu semua gara-gara kamu! Semua salah kamu, tau nggak??!!" Dia berteriak lagi, dan aku hanya memasang wajah datar sambil mengacungkan ibu jariku.


Aku lihat wajah Mas Arman memerah. Aku tahu dia sangat marah saat ini. Kudengar di luar kamar ia membanting-banting barang dan tak lama kemudian dia menghubungi Mamanya.


"Ma, aku berhenti kerja! Aku berhenti kerja, Ma! Dan itu semua gara-gara Rena!" Dia mengatakan hal itu pada Mamanya. Tapi aku masa bodo.


Tak lama kemudian Mamanya meneleponku, tapi kuabaikan. Aku hanya mengirim pesan singkat padanya.


"Anakmu sakit jiwa, Ma." Demikian pesanku pada Mama mertuaku dan langsung kumatikan ponselku. Untuk pertama kalinya aku merasa menang. Aku kembali tidur bersama Aisyah dan Maryam.


* * *


Untuk selanjutnya aku dan Mas Arman saling diam tak berkomunikasi. Dia lalu membuatku cemburu secara terang-terangan. Kali ini bukan dengan Siska, melainkan perempuan lain bernama Diana.


"Diana ini perempuan tangguh. Dia janda dan bisa hidup mandiri. Walaupun anaknya sudah 3, tapi masih cantik dan bodynya kencang." Kata Mas Arman membanggakan Diana di depanku. Aku tahu dia sedang membuat hatiku panas.


"Kamu tau dari mana kalau badannya kencang?" Tanyaku merasa muak.


"Ya waktu itu kami pernah main boxing bareng. Terus nggak sengaja aku tinju bagian dada atasnya. Dia diam aja, malah senyum-senyum gitu kayak ketagihan. Dadanya kencang nggak kayak kamu!" Katanya memuji Diana dan menjelekkanku.


Tapi aku hanya tersenyum mendengar ceritanya dan tidak terpancing dengan omongannya. Aku tahu Mas Arman hanya ingin membuatku marah, makanya aku harus terlihat lebih tenang.


Kali ini 'hukuman' yang diberi oleh Mas Arman bukan lagi makian dan pukulan, tapi menyakiti hatiku dan Aisyah.


Lihat selengkapnya