Mas Arman tega menginap di hotel mewah bersama perempuan lain sementara aku dan anak-anaknya dibiarkan hanya makan berlaukkan seadanya karena hanya diberi uang pas-pasan. Uang yang dia pakai pun uang tunjangan anak-anakku yang diberikan kantornya. Aku benar-benar emosi dibuatnya!
Tanpa menunggu waktu lagi, kusalin semua isi file yang ada di dalam flashdisk itu ke Hp ku, kemudian buru-buru kumatikan laptop.
Setiap kali mengingat hal itu, dan setiap kali aku membuka foto-foto itu di ponselku, rasa sakit hatiku tidak pernah hilang.
Sebagai istri, aku dilarang oleh Mas Arman untuk berhubungan dengan laki-laki yang bukan mahramku. Tidak boleh berbicara, atau bahkan bersentuhan sedikitpun. Bahkan saat pelayan di supermarket bertanya hal ringan sekalipun padaku, itu akan menjadi masalah buat Mas Arman. Dan aku sama sekali tidak boleh menanggapinya.
Sebagai istri, aku betul-betul menjaga kehormatan dan marwah suamiku di hadapan siapapun dan di manapun berada. Tapi kenapa Mas Arman tega melakukan ini semua padaku??
Perselingkuhan Mas Arman yang pernah ia lakukan sebelum ini tidak pernah kutemukan bukti - buktinya, tapi untuk yang kali ini, betul-betul tidak pernah bisa lepas dari otakku. Setiap percakapan dan foto-foto mereka selalu terbayang dalam benakku.
Aku akhirnya menghubungi salah satu orang tua temannya Aisyah di sekolah yang bernama Mbak Amelia. Kami sering bertemu di acara kajian bulanan di sekolah anak-anak kami, dan kebetulan suaminya bekerja di bidang hukum, jadi aku yakin dia pasti punya kenalan lawyer perceraian. Aku tidak mau menunda lagi untuk berpisah dari suamiku.
Ini sudah gila! Ini sudah betul-betul keterlaluan! Aku sudah tidak bisa lagi hidup bersama laki-laki sakit yang pada kenyataannya memang tidak akan pernah bisa sembuh.
Bagaimana bisa dulu aku berpikiran kalau aku bakal bisa membantunya untuk sembuh, sementara dia sendiri tidak ingin sembuh?
Dan pada akhirnya aku tersadar, bahwa aku tidak bisa mengubah Mas Arman yang sudah puluhan tahun lebih mengenyam kehidupannya sendiri. Dengan semua pola asuh yang sudah terpatri dalam dirinya, dengan segala kebiasaannya, semua masa lalu dan luka batinnya. Aku tidak bisa mengubah semua itu hanya dengan kehadiranku yang baru beberapa tahun ini dalam hidupnya. Jelas itu tidak mungkin!
Mas Arman memang suamiku, tapi 'penyakitnya' bukanlah tanggung jawabku. Bukan tanggung jawabku untuk mengubahnya. Tanggung jawabku adalah diriku sendiri dan anak-anakku.
Dulu aku begitu bodoh karena sudah termakan omongannya. Sikapnya yang selalu manipulatif, selalu bisa meyakinkanku kalau aku bisa menjadi pahlawan dalam hidupnya. Bahwa dia bersifat abusif karena dia 'sakit' dan hanya aku yang bisa menyembuhkannya. Dia selalu bisa meyakinkanku kalau hanya akulah yang bisa membuatnya berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Mungkin memang benar kalau dia sakit, tapi jika sakitnya dia malah membuat hancur mental dan hidupku serta kedua anakku, maka inilah waktu yang tepat untuk berpisah darinya.