Hari-hari berlalu masih dengan kondisi kami yang sudah jarang lagi berkomunikasi. Mas Arman memang sesekali bertanya padaku tapi kujawab dengan singkat-singkat saja. Sudah malas aku meladeni perkataannya. Suatu hari ia pernah mendatangiku saat aku tengah memasak di dapur.
"Sayang, ada cincin berlian bagus deh. Kamu mau nggak?" Dia tiba-tiba memeluk pinggangku dari belakang sambil menyodorkan layar ponselnya yang menunjukkan gambar cincin berlian dari sebuah toko online.
"Nggak mau." Jawabku ketus sambil menarik tubuhku dari pelukannya.
"Okey, nggak papa. Hmm ... Oh iya, kalo poligami nggak bisa menyelamatkan pernikahan kita, aku tahu apa solusi lain yang bisa membuat kita nggak perlu cerai." Mas Arman mengerlingkan kedua matanya.
"Nggak tertarik." Sungutku sambil melengos berjalan menjauhinya.
"Sayang, kita perlu punya anak lagi. Hal itu akan menyelamatkan pernikahan kita. Yangkung pasti akan memberikan banyak uang buat kita dan aku janji aku akan berubah menjadi suami dan ayah yang baik buat kamu dan anak-anak kita." Mas Arman membujukku sambil terus membuntutiku masuk ke dalam kamar.
"Kalo kamu mau, nanti aku beliin cincin yang tadi deh." Katanya terus merayuku. Aku langsung berbalik dan menatap matanya dengan tajam.
"Orang gila!" Ketusku sebelum kudorong tubuhnya keluar kamar dan kututup pintunya dengan keras.
Betul-betul tidak ada yang mengerti perasaanku ketika harus seatap dengan laki-laki yang masih suami kita tapi sangat kubenci setengah mati dan aku sudah tidak sabar untuk berpisah dengannya kecuali mereka yang benar-benar bisa merasakan perasaan dan kondisiku.
Kini aku tetap memakai kerudung saat berada di dalam rumah. Dan setiap kali aku mandi, aku selalu khawatir karena Mas Arman selalu masuk tanpa izin hanya untuk mempermalukanku. Aku selalu berteriak memintanya keluar tapi dia sangat senang membuatku terluka.
"Hahaha ... Punya badan kayak gini sok-sokan mau cerai sama aku? Ngaca dong. Masih untung masih ada yang mau sama kamu." Ledek Mas Arman sambil menertawakanku.
"Badan isinya lemak semua, menggelambir. Perut sama pa yu dara sama ratanya."
Mendengar hinaannya aku hanya mampu meringkuk di pojok kamar mandi sambil menangis. Aku tidak bisa mengunci pintu kamar mandi karena semua kunci pintu di rumah ini telah ia ambil. Aku mulai tidak tahan dibuatnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk balas dendam.