Enam Tahun Bertahan Dengan Suami Yang Sakit Jiwa

Nurlaila Zahra
Chapter #28

Rumah Singgah Aman

"Aku sudah tidak bisa melihatmu lagi! Habis sudah kesabaranku. Mulai detik ini juga, aku dan anak-anak akan keluar dari neraka jahanam ini!" Ancamku tanpa ada rasa takut lagi dalam hatiku.


Kulihat wajah Mas Arman memerah. Aku tahu saat ini ia pasti sangat marah padaku.


"Baiklah. Mulai detik ini juga aku ceraikan kamu!" Mas Arman berteriak dengan wajah yang begitu marah. Aku tahu dia sangat malu diperlakukan seperti itu di hadapan ibunya dan juga teman-temanku.


Aku menghela nafas pelan. "Alhamdulillaah. Terima kasih." Balasku menatap wajahnya dengan lekat.


Saat itu juga kukemasi barang-barangku dan anak-anak yang ada di dalam kamar. Aku minta tolong pada Masayu untuk memasukkan semua pakaian anak-anakku ke dalam sebuah tas besar.


Sambil menangis, kuambil semua barang yang hanya menjadi milikku dan anak-anak. Meski aku masih belum tahu mau kemana kami setelah ini, tapi yang pasti aku sudah tidak tahan untuk terus berada di dalam rumah neraka ini.


Mas Arman kemudian masuk ke dalam kamar dan ikut mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari.


"Jangan sentuh barang-barang milikku!!" Aku berteriak cukup kencang di hadapan Mas Arman. Enam tahun sudah aku menahan untuk tidak berteriak dengan manusia berhati iblis ini. Enam tahun sudah aku cukup bertahan dengan segala sikap egoisnya. Sudah cukup rasanya aku menahan segala amarah dan luapan emosi yang kini mulai berani kukeluarkan di hadapannya. Aku tidak mau lagi dia menyentuh barang-barang milikku. Aku jijik!


Tak lama kemudian Mama mertuaku juga masuk ke dalam kamar untuk menenangkan putranya.


"Sudah, Nak. Jangan di sini. Lebih baik kamu pergi tenangkan dirimu." Bujuk Mamanya menahan Mas Arman agar tidak memukulku. Ia tahu betul kalau putranya sangat tidak suka dibentak.


Sambil membuang nafas kasar, Mas Arman pergi dengan menahan emosinya. Sementara aku lanjut mengemasi barang-barangku dan mengganti pakaian Aisyah dan Maryam yang sudah mulai tenang.


Tak lama kemudian Mama mertuaku menyusul Mas Arman pergi. Sambil menahan segala rasa yang berkecamuk di hati, aku terus menelan saliva sambil mengingat-ingat kembali apa yang harus aku bawa sebelum aku benar-benar pergi dari sini.


Saat kami telah siap untuk pergi dari rumah ini, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponselku.


"Tolong Jangan pergi. Biar aku saja yang keluar dari rumah. Jangan korbankan anak-anak." Pesan dari Mas Arman kubaca dengan hati yang terlanjur terluka.

Lihat selengkapnya