Enam Tahun Bertahan Dengan Suami Yang Sakit Jiwa

Nurlaila Zahra
Chapter #29

Tak Ingin Diganggu

Tidak terasa tiga hari sudah aku berada di tempat yang asing ini. Banyak hal-hal baru yang kutemukan di sini antara lain teman baru dan pengalaman baru. Aku banyak berbagi cerita dengan beberapa perempuan yang nasibnya tidak jauh berbeda denganku. Di sini aku juga dibimbing untuk banyak beribadah dan memuhasabah diri. Ada seorang ustadzah yang sengaja dihadirkan untuk membimbing kami untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.


Setidaknya selama tiga hari ini aku tidak merasa kesepian karena aku memiliki banyak teman baru di sini.


Tiga hari sejak aku meninggalkan rumah, Mas Arman tidak hentinya mengirimiku pesan dan menelepon.


"Rena, kembalilah sama anak-anak. Tinggal saja di rumah. Biar aku yang keluar." Kubaca salah satu pesan Mas Arman itu dengan perasaan yang tak tergoyahkan lagi. Aku sudah muak dengan bujuk rayunya yang selalu diulangnya. Sekarang dia bisa baik, beberapa jam kemudian bisa jadi kembali memburuk.


Dan benar saja. Saat paginya ia mengirim pesan yang baik-baik padaku, siang harinya ia kembali menjadi monster yang menakutkan.


"Aku yakin kamu sudah merencanakan kepergian ini jauh sebelum kita bertengkar kemarin, kan? Aku nggak nyangka kamu udah tega nusuk aku dari belakang. Harusnya kamu tahu dosa apa yang akan kamu dapatkan kalau kamu pergi keluar rumah tanpa izin suami! Dasar perempuan jelek! Nggak tau diuntung!" Aku langsung menutup layar ponselku saat kubaca pesan Mas Arman yang membuatku ingin muntah.


"Sayang, gimana sih caranya masak telur dadar seperti bikinan kamu yang enak itu? Pulanglah. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan anak-anak." Pesan yang ini betul-betul membuatku geleng-geleng kepala.


Satu pesanpun darinya tidak ada yang aku balas. Aku muak! Aku tidak ingin lagi termakan omongannya dan merasa iba lagi padanya.


Keluar dari rumah aku tidak membawa uang sama sekali. Tapi aku bersyukur karena teman-teman pengajianku di lingkungan RW begitu peduli padaku. Lewat Masayu dan Aidil, mereka justru membuat penggalangan dana dan hasilnya diserahkan padaku.


Aku terharu saat beberapa dari mereka datang untuk menyerahkan uang itu dan memelukku dengan erat. Ada rasa malu bercampur rasa bahagia yang sangat luar biasa karena ternyata banyak orang yang begitu peduli dan mendukungku.


"Kamu yang sabar ya. Yang kuat. In syaa Allah sebentar lagi akan ada matahari yang menyambut hidupmu dan anak-anak dengan lebih cerah lagi." Kata Puji menguatkanku.


"Kami semua nggak pernah nyangka loh kalo ternyata suamimu seperti itu." Timpal yang lainnya sedikit berapi-api.


Aku hanya mendengarkan sambil tersenyum dan menangis.

Lihat selengkapnya