Hari ini jadwal aku, Mama mertua, dan anak-anak 'pulang' ke kampung halamanku di Cirebon. Mas Arman datang ke stasiun kereta untuk menemuiku dan anak-anak. Tapi aku sendiri malas untuk bertemu dan melihat wajahnya lagi. Jadi saat ia tiba di stasiun, aku memilih untuk ke toilet sebentar.
Kami menempuh perjalanan berjam-jam yang cukup melelahkan. Aisyah dan Maryam sempat rewel saat kereta sudah hampir sampai di stasiun tujuan.
Sesampainya di rumah Bapak dan Ibuku, aku langsung memeluk tubuh keduanya dengan erat sambil menangis tersedu-sedu. Aku rindu sekali dengan dua orang malaikatku ini. Kuceritakan semua perlakuan Mas Arman padaku selama ini pada mereka. Yang paling terpukul sekali jelas adalah Bapakku. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri kesayangannya diperlakukan sedemikian buruknya oleh menantunya sendiri.
"Kamu tega sekali, Arman. Kamu tega sekali sama putri kesayanganku." Bapak menangis dan berkata seolah-olah Mas Arman ada di hadapannya.
"Apa kamu nggak bisa mendidik anakmu dengan baik, Bu, sampai anakmu menyakiti anakku seperti itu?" Tuding Bapak pada Mama mertuaku. Perempuan berpakaian rapi itu hanya menghela nafas pelan tanpa menyahuti apapun.
Bapak terus menangis dan memeluk tubuhku karena merasa terguncang akibat nasib yang kualami selama hidup di Jakarta.
Sementara Mama mertuaku melihat pemandangan menyedihkan itu dengan ekspresi datar. Tak ada empati apalagi wajah penyesalan. Seperti tidak punya hati.
Saat malam tiba dan Bapak tertidur sambil membawa luka di hatinya, aku menyaksikan sendiri kalau tidur Bapak tidak tenang. Ia terus mengigau dan memanggil-manggil namaku.
"Rena, pulang, Nak. Pulang. Jangan kamu ikuti suamimu yang jahat itu." Demikian Bapak mengigau di malam hari.
"Arman, kenapa kamu jahat sekali sama anakku? Kenapa Arman? Kenapa kamu sakiti dia? Dia putri kecilku. Dia aku titipkan padamu untuk kamu bahagiakan, kenapa malah kamu sakiti?"
Aku menangis mendengar Bapak mengingau seperti itu. Aku tahu seperti apa terlukanya hati Bapak saat tahu putri kecilnya diperlukan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri.
* * *
Hari ke tiga di Cirebon, kami keluar untuk jalan-jalan. Mama mertuaku tentu selalu ikut kemanapun aku dan kedua cucunya pergi.
Kami pergi ke sebuah taman bermain karena Aisyah dan Maryam selama di Jakarta jarang sekali diajak jalan-jalan oleh Papanya. Mereka terlihat senang sekali mendapat suasana baru.
Namun saat Aisyah memakan es krim dan es krim yang dimakannya mengenai sedikit pakaian Mama mertuaku, perempuan baya itu langsung murka.