Aku menatap layar ponsel yang bergetar di tanganku. Nama Mas Arman muncul lagi di layar, dan kali ini, aku tahu persis apa yang akan terjadi jika aku mengangkatnya. Pesan-pesan ancaman yang dia kirimkan sejak aku pergi dari rumah terus terngiang di kepalaku, seperti racun yang menulari pikiranku. Aku menelan ludah, mencoba menahan gemetar di tanganku, tapi tidak bisa.
Kereta dari Cirebon baru saja berhenti di stasiun Jakarta, dan kedua anakku, Aisyah dan Maryam, masih menangis karena kelelahan. Perjalanan ini, yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari neraka yang kusebut rumah, ternyata sama melelahkannya. Sejak dari stasiun di Cirebon, aku sudah kewalahan. Dua koper besar dan dua handcarry yang kubawa seperti beban dunia yang kutanggung sendirian. Dan di atas itu semua, Mama Mertuaku hanya duduk di sampingku dengan tenang, sama sekali tidak mau membantu.
"Rena, jangan dekat-dekat sama barang-barangku. Aku nggak mau ada yang mengacak-acak koperku," ucap Bu Rani dengan nada dingin, tanpa mau melihatku.
Aku menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya dia bersikap seperti itu. Sifat OCD-nya membuat segalanya harus sempurna dan tertata rapi. Tapi di saat seperti ini, rasanya terlalu berlebihan. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi siapa yang akan mendengarkan? Aku sudah terbiasa menghadapi semuanya sendiri.
Saat di perjalanan tadi, Aisyah mulai menangis lagi, suaranya menggema di kereta yang mulai kosong. Maryam, yang masih terlalu kecil untuk memahami situasi, hanya bisa merengek. Aku memeluk mereka bergantian, mencoba menenangkan, tapi aku sendiri sudah di ambang kehancuran. Salah seorang petugas kereta mendekat tadi, menawarkan bantuan dengan senyum simpati. Dia bilang, aku butuh istirahat. Tapi bagaimana aku bisa beristirahat kalau perjalanan ini seolah tak ada habisnya?
Untungnya, saat tiba di stasiun Jakarta, dua teman baikku, Fira dan Laila, sudah menunggu. Melihat mereka membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya, aku tidak sendirian sekarang.
"Ya ampun, Ren. Capek banget, ya? Biar kami bantuin bawa barang-barangnya," kata Fira sambil langsung meraih handcarry dari tanganku.
"Terima kasih, Fir," ucapku, mencoba tersenyum meski tubuhku rasanya mau roboh.