Suasana di aula Masjid Al Huda itu terasa hangat, meski sedikit berjarak bagiku. Aku duduk di atas karpet dekat dinding, memperhatikan orang-orang yang datang dengan senyum lebar dan canda tawa yang menggema di sekeliling ruangan. Hari ini, aku diundang ke acara pertemuan Idul Adha yang diadakan oleh teman-teman di lingkungan RW. Aku membawa Aisyah dan Maryam, yang tampak begitu ceria mengenakan baju muslimah kecil mereka. Mereka duduk di sampingku, sibuk bermain dengan mainan yang kubawa dari rumah singgah.
Aku tersenyum, merasa sedikit nyaman berada di antara orang-orang yang kukenal. Meski begitu, seperti biasa, ada perasaan minder yang selalu mengikutiku di acara seperti ini. Mereka semua tampak begitu akrab, berbincang dengan lincah tentang hal-hal yang sering kali terasa jauh dari jangkauanku. Aku lebih sering menjadi pengamat—sekadar menyaksikan mereka berbicara, tanpa benar-benar terlibat dalam percakapan.
Ada Mbak Amelia, salah satu temanku, yang anaknya juga satu sekolah dengan Aisyah, yang selalu supel dan mudah bergaul. Dia dengan cepat mencairkan suasana, bercerita sambil tertawa, membuat lingkaran teman-teman di sekelilingnya tergelak. Aku ingin sekali bisa seperti itu, tapi rasa cemas dan tidak percaya diri selalu menghentikanku untuk ikut terlibat.
Aku menyuapi Aisyah dan Maryam sambil mencoba menikmati acara, meskipun sebagian besar waktuku kuhabiskan dengan diam. Suara orang-orang yang tertawa, aroma makanan lezat yang tersaji, dan suasana kebersamaan yang penuh semangat Idul Adha sebenarnya menyenangkan, tapi rasanya ada sekat yang selalu memisahkanku dari mereka.
Tiba-tiba di tengah-tengah keramaian, pintu aula terbuka dengan keras. Suara yang mengejutkan itu membuat semua orang menoleh ke arah pintu. Hatiku langsung mencelos saat melihat siapa yang berdiri di sana—Mas Arman.
Mas Arman berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dengan mata yang berkilat marah. Aku bisa merasakan tubuhku membeku, napasku tercekat di tenggorokan. Dia mencari-cari seseorang, dan aku tahu siapa yang dia cari. Perutku seketika terasa mulas, ketakutan yang selama ini selalu mengintai kini datang menyerangku dengan kekuatan penuh.
Dia mulai melangkah masuk ke dalam aula, melewati barisan tamu yang sedang duduk beralaskan karpet. Tak seorang pun dari para hadirin tahu bagaimana harus bereaksi. Mas Arman menghampiri lingkaran tempat para wanita duduk, dan saat dia melihatku, matanya menyala penuh amarah.
“Rena!” suaranya menggema di seluruh aula. “Kamu pikir bisa sembunyi dari aku?”
Orang-orang mulai berbisik-bisik, beberapa dari mereka menoleh ke arahku dengan tatapan heran dan kaget. Aku ingin bersembunyi, ingin hilang dari tempat ini. Aisyah dan Maryam, yang duduk di sampingku, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku menggenggam tangan mereka erat-erat, berusaha memberikan rasa aman meski tubuhku gemetar hebat.