Setelah perceraian itu resmi, aku tahu ada satu hal lagi yang harus kulakukan: mengabari orang tuaku di Cirebon. Meski hatiku masih penuh dengan berbagai perasaan—lega, takut, dan harapan—aku tahu mereka harus tahu bahwa aku sudah terbebas dari cengkeraman Mas Arman.
Hari itu, aku duduk di kamar kecil di rumah singgah, menatap layar ponsel sebelum akhirnya menelepon ibuku. Dering ponsel terasa begitu panjang, seakan menambah beban di hatiku. Akhirnya, suara lembut ibuku terdengar di ujung sana.
“Assalamu’alaikum, Nak. Gimana kabar kamu?” tanya Ibu dengan nada hangat, meski ada sedikit kekhawatiran yang tersirat.
“Wa’alaikumussalam, Bu. Aku baik, Alhamdulillah,” jawabku, berusaha menenangkan suara yang sedikit gemetar. Aku tahu bahwa apa yang akan kukatakan akan membawa banyak emosi bagi Ibu dan Bapak di sana.
“Ada yang ingin Rena sampaikan, Bu,” lanjutku. Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku dan Mas Arman sudah resmi bercerai.”
Seketika hening di ujung sana. Aku bisa merasakan beratnya kabar ini bagi mereka, meski aku tahu mereka sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Alhamdulillah,” akhirnya Ibu menjawab, suaranya sedikit bergetar. “Nak, Ibu dan Bapak sangat bersyukur kamu sudah terlepas dari dia. Kami sudah lama berdoa agar kamu diberi jalan keluar dari semua masalah ini.”
Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Mendengar rasa syukur di suara Ibu membuatku merasa lebih ringan. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah bagi keluargaku untuk diterima. Perceraian masih sering dianggap aib, terutama dalam keluarga kami. Tapi kali ini, aku tahu mereka bersyukur karena aku terbebas dari kekerasan yang selama ini mereka khawatirkan.