Setelah perceraian secara agama itu terjadi, aku berpikir mungkin Mas Arman akan berhenti mengganggu. Namun, harapan itu hanyalah angan-angan. Dalam minggu-minggu pertama setelah kami bercerai secara agama, Mas Arman masih sering menghubungiku melalui pesan singkat. Pesan-pesannya selalu dimulai dengan cara yang sama—berpura-pura manis dan penuh nostalgia.
"Aku rindu Aisyah dan Maryam. Kapan aku bisa bertemu mereka?" tulisnya suatu hari.
Aku ingin mengabaikan pesan itu, tapi selalu ada rasa khawatir kalau dia akan membuat keributan jika aku tidak merespons. Aku menuliskan jawaban pendek, "Kita sudah bicara soal ini. Ada waktu yang tepat nanti."
Semakin lama, pesan-pesan itu berubah nada. Bukan hanya tentang anak-anak, Mas Arman mulai mengirimkan pesan yang membuatku mual.
"Aku rindu masakanmu. Tidak ada yang bisa masak sayur asem seenak kamu."
Aku hanya memutar bola mata saat membacanya. Dia rindu masakanku? Bagaimana dengan kekerasan dan hinaan yang dia lakukan setiap kali kami makan bersama dulu? Semua kenangan buruk itu tak mungkin kulupakan, tak peduli betapa ‘manisnya’ pesan-pesan ini terlihat.
Namun yang paling membuatku muak adalah ketika dia mengirimkan pesan-pesan yang lebih intim, mengungkit hal-hal yang tidak pantas, seperti kerinduannya bercumbu denganku.
"Tidak ada yang bisa menggantikan kamu," tulisnya di suatu malam, membuat bulu kudukku meremang bukan karena rindu, melainkan jijik.
Semakin sering dia mengirimkan pesan-pesan seperti ini, semakin besar rasa muakku. Bagiku, ini hanya satu lagi bentuk manipulasi dari dirinya, berusaha menarikku kembali ke dalam cengkeramannya. Tapi kali ini, aku sudah lebih kuat. Aku tidak akan terjebak dalam permainannya lagi.
Lalu, tiba-tiba di bulan November, pesan-pesan itu berhenti. Mas Arman menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada lagi pesan manis yang memuakkan, tidak ada lagi panggilan tengah malam, dan tidak ada lagi permintaan untuk bertemu anak-anak. Pada awalnya, aku merasa waspada, berpikir mungkin ini hanya strategi baru dari Mas Arman. Namun, semakin lama, aku menyadari bahwa dia benar-benar hilang dari kehidupan kami.
Sebulan kemudian, kami menjalani sidang perceraian di pengadilan, dan Alhamdulillah, saat itu perceraian kami secara hukum resmi dinyatakan sah. Aku keluar dari ruang sidang dengan perasaan lega yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Semua rantai yang mengikatku pada Mas Arman kini telah terlepas, baik secara agama maupun hukum.