Meski aku sudah merasa lega dan damai dengan keputusan untuk berpisah, kehidupan tetap penuh dengan tantangan. Ada banyak hal yang perlu kupikirkan setelah perceraian ini. Selain memastikan masa depan Aisyah dan Maryam, aku juga harus belajar untuk hidup mandiri dan membangun kembali kepercayaan diriku yang sudah lama runtuh karena perlakuan Mas Arman.
Di paviliun kecil ini, aku perlahan-lahan mulai merangkai ulang mimpi-mimpiku. Pekerjaan di rumah penampungan bersama Mbak Dania memberikan kesibukan dan tujuan yang baru. Melihat senyum anak-anak yatim di sana, aku merasa dipenuhi rasa syukur. Setiap kali mereka tertawa atau berlari ke arahku, aku merasa hati ini dipenuhi dengan kehangatan. Meski aku belum sepenuhnya sembuh dari trauma, perlahan-lahan aku mulai merasa hidup kembali.
Namun, di tengah semua itu, masih ada malam-malam sunyi ketika aku merenung sendiri, di mana perasaan sedih dan kesepian datang menyergap. Aku tidak bisa memungkiri bahwa kadang-kadang kenangan pahit dari pernikahanku dengan Mas Arman masih menghantui. Tapi aku selalu ingat untuk menguatkan hati dan memohon kekuatan dari Allah. Setiap luka yang pernah kubawa kini menjadi pengingat akan betapa kuatnya aku bertahan.
Suatu hari, ketika aku sedang menyiapkan makanan untuk anak-anak di rumah penampungan, Mbak Dania mendekatiku dengan wajah serius.
"Rena, ada kabar yang mungkin perlu kamu tahu. Arman sekarang sedang menunggu anak pertamanya dengan Falya," katanya pelan.
Berita itu membuatku terdiam sejenak. Anak? Aku tidak pernah membayangkan bahwa Mas Arman akan segera menjadi seorang ayah lagi, kali ini untuk anak yang berbeda dari Aisyah dan Maryam. Rasa campur aduk kembali memenuhi hatiku. Namun, tak ada rasa sakit atau iri yang timbul. Justru, aku merasa semakin yakin bahwa jalanku memang sudah berbeda dari Mas Arman, dan aku tidak menyesalinya.