Langit malam Jakarta begitu jernih malam itu. Dari atap gedung setinggi 30 lantai, Kai Daven bisa melihat kelap-kelip lampu kota seperti gugusan bintang terbalik. Ia duduk di pinggir beton dingin, headset kecil menempel di telinganya.
Di tangannya, flash drive hitam dengan lambang tak dikenal baru saja diisi data yang tak boleh bocor ke tangan siapa pun kecuali timnya."Kai," suara Ziva menggedor di telinga, "kau diam terlalu lama di situ. Kau sudah dapat datanya, keluar sekarang.
"Kai tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata. Membiarkan udara malam mengisi paru-parunya."Setelah ini, aku selesai, Ziva. Aku sudah cukup."
"Jangan mulai drama pensiun sekarang," balas Ziva cepat. "Turun. Sekarang."Kai tersenyum kecil. Ia menyelipkan drive ke dalam jaket, lalu berdiri. Tapi sebelum melangkah ke arah pintu darurat, matanya menangkap sesuatu.Seorang perempuan. Duduk sendirian di pinggir trotoar, sekitar dua blok dari gedung yang baru saja ia masuki.
Gaun merah muda rambut panjang agak berantakan, dan sebotol air mineral yang ia genggam seperti sedang menyembunyikan dunia di dalamnya.Kai berhenti.
Dari posisi tingginya, ia tak bisa melihat wajah dengan jelas, tapi sikap tubuh perempuan itu mabuk, kelelahan, sendirian membuatnya tetap menatap.
Sebuah mobil sedan hitam menunggu di dekatnya. Sopir tampak ragu untuk mendekat. Ada jarak aneh di antara mereka.
"Kai," suara Ziva memanggil lagi. Tapi Kai tak menjawab.
Perempuan itu bangkit perlahan, berjalan sedikit limbung ke arah mobil. Sopir akhirnya keluar dan membantunya masuk. Dalam hitungan detik, mobil itu pergi.Kai masih berdiri di sana, memandangi jalan kosong yang ditinggalkan mobil itu.
Dua bulan kemudian.Pagi itu, matahari menerobos melalui tirai tipis di apartemen kecil tempat Kai tinggal. Ia duduk di balkon mungil, mengenakan kaus putih dan celana olahraga, menyesap kopi hitam sambil mendengarkan suara kota.Tak ada laporan.
Tak ada sandi. Tak ada headset.Hanya dia, secangkir kopi, dan suara burung gereja.Ia hampir merasa seperti manusia biasa."Kai," suara Ziva muncul dari speaker kecil di meja, "kita butuh kau. Misi baru."
"Kau tahu jawabanku. Aku berhenti."
"Kau pasti mau lihat file ini dulu," kata Ziva. Ada jeda pendek. "Kirimkan ke layar."Kai mendesah. Ia membuka laptop, mengetik sandi, dan membuka file yang Ziva kirim.Logo perusahaan muncul di layar: MITRADATA, perusahaan teknologi paling berpengaruh di Asia Tenggara."
Tujuan utama: menyusup sebagai teknisi magang. Target: investigasi jaringan internal dan temukan keberadaan Vault 17. Kau punya 60 hari.
"Kai nyaris menutup layar.Sampai... wajah itu muncul.Salah satu subjek yang terkait dalam data awal: Lyra Hale. Direktur kreatif, putri tunggal CEO, dan...Gadis dari trotoar malam itu.
Rambutnya ditata rapi. Wajahnya segar. Tapi Kai tak bisa lupa tubuh lelah dan langkah limbung yang dilihatnya tiga minggu lalu."Dia bagian dari ini?" bisik Kai."Apa kau kenal dia?" tanya Ziva dari balik suara."Tidak," jawab Kai.
Tapi suaranya terlalu lambat untuk terdengar meyakinkan.Sore itu, ia berdiri di depan cermin kamar mandi. Mengenakan kemeja yang sedikit kebesaran, kacamata bulat murahan, dan tas punggung lusuh.Nama barunya: Kenji Darmawan.Identitas baru, tempat baru, tapi entah kenapa... Kai tahu, misi ini tidak akan biasa
Saat ia melangkah keluar dari pintu apartemen, suara Ziva terdengar sekali lagi."Satu misi terakhir, Kai."Kai mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu: satu misi terakhir... selalu jadi awal dari sesuatu yang tak bisa diakhiri dengan mudah.
• •