End to Start

Flaminstalized
Chapter #2

Di Penghujung Bulan November

“Oh, lo udah bangun?” Seorang lelaki bergigi kelinci menyapa netraku begitu aku membuka mata.

“Siapa?” tanyaku masih dalam keadaan bingung. Aku tidak ingat kenapa aku bisa berakhir berbaring di tenda P3K.

“Tadi lo pingsan. Mau gue tinggal, tapi gak ada yang jagain. P3K lagi pada sibuk karena banyak yang pingsan juga terus lo kayanya belum punya temen ya?” Pertanyaan yang entah mengandung sindiran atau bukan itu terlontar dari mulutnya sebelum ia menyodorkan segelas air putih kepadaku. “Nih, minum dulu.”

Tak lama kemudian seorang panitia ospek menghampiri kami. Dia menanyakan keadaanku dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang jika aku masih belum kuat untuk pulang sendiri, tapi aku menolaknya.

“Makasih ya udah nolongin aku.” Kalimat itu aku ucapkan sebagai penutup pertemuan singkat kami, karena aku berniat untuk langsung pulang.

Namun sepertinya lelaki itu tidak berpikiran yang sama, karena detik betikutnya ia malah mengulurkan tangannya sambil berujar, “Biar gue jadi temen pertama lo. Nama gue Danu!”

Rupanya dia masih berpikir kalau aku belum mempunyai teman, ya walau kenyataannya memang demikian. Karena beradaptasi di tempat baru itu bukanlah keahlianku apalagi dengan budaya yang berbeda. Aku yang dulu tinggal di desa kecil di kaki Gunung Sumbing belum terbiasa dengan kehidupan ibukota.

“Naresya.” Aku menyambut uluran tangannya.

“Jurusan apa?” Dia bertanya lagi.

“Pendidikan sosiologi.”

“Oh, ternyata kita satu fakultas. Gue jurusan ilmu komunikasi.” Aku hanya mengangguk mengiyakan. Walau sejujurnya aku rada minder dengan jurusanku karena hey memangnya apa yang bisa dibanggakan dari jurusan pendidikan sosiologi?

“Ayo gue anter lo balik.” Tepat ketika aku meraih tas punggungku yang tergeletak di atas kursi plastik, dia lagi-lagi berujar yang harus langsung kutolak karena aku sangsi terhadap orang asing. Terlebih kepada lawan jenis—tukang ojek atau supir angkutan umum pengecualian karena bagaimanapun mereka bekerja buka orang yang tiba-tiba menawarkan bantuan.

“Lo mau pingsan di tengah jalan?”

“Aku bisa pulang sendirian.”

“Yaudah gue temenin.”

“Gak usah.”

“Gue gak akan nyulik lo.”

“Aku gak bilang kalau aku takut diculik.”

“Muka lo yang bilang.” Kesan pertamaku terhadap Danu adalah dia tukang debat dan tidak mau kalah meski lawannya perempuan sepertiku. Kalimat yang mengatakan bahwa perempuan selalu benar tampaknya tak berlaku bagi Danu.

Hingga pada akhirnya aku mengijinkan dia mengantarku pulang dengan motor metiknya. Untung saja dia menepati janji untuk mengantarku pulang selamat tanpa berbuat macam-macam.

Sejak saat itu apabila kita tak sengaja berpapasan di kampus dia selalu menyapaku walau terkesan singkat dan jutek karena yang kuingat dia kerap kali memasang wajah cemberut atau dahi yang berkerut. Itu sebelum aku tahu semanis apa senyum yang dia punya.

Di penghujung bulan November kami kembali dipertemukan di malam inagurasi kampus. Aku yang saat itu hanya mengenakan kaos pendek berbalut kardigan coklat berpapasan dengan Danu dan teman-temannya. Ia mengenakan kemeja senada dengan warna bajuku.

Danu menyapa sambil melambai singkat membuat langkahku terhenti untuk balik menyapanya. Rupanya hal itu mengundang lirikan dari teman-teman Danu yang kini sudah menatapku penasaran.

Lihat selengkapnya