End to Start

Flaminstalized
Chapter #3

Sejak Kita Bukan Siapa-siapa

Sejak awal aku sudah terlanjur berbicara aku-kamu dengan Danu. Jadi, walau aku sudah terbiasa dengan gaya bicara anak-anak ibukota aku tidak bisa serta merta mengganti gaya bicaraku pada Danu, hanya pada Danu karena entah kenapa jatohnya malah terdengar aneh. Untungnya Danu juga tidak mempermasalahkan hal itu. Justru teman-temannya yang protes menganggap Danu terlalu diistimewakan, padahal dia bukan siapa-siapa.

“Na, coba dong ngomong aku-kamu juga sama gue,” kata Agam suatu hari ketika aku mampir ke kos-kosan Danu.

Kepalaku sontak menggeleng. “Gak mau, geli kalau sama lo.” Agam mencibir dan mengataiku pilih kasih sementara aku hanya tertawa. Mungkin tanpa aku sadari diam-diam Danu sudah menjadi orang special di hati.

“Lo telat kenalan sih Gam, coba lo kenal Nares dari jaman maba, beuh masih polos banget ni anak. Ngomong lo-gue aja merasa berdosa banget kayanya mana pernah dia ngabsen kebun binatang kaya sekarang.” Aku memukul lengan Danu dengan raut protes. Perubahanku tidak sebarbar itu, aku hanya mencoba beradaptasi.

“Ya elo gak mau ngenalin gimana gue mau kenal?”

“Bukannya gue gak mau ngenalin, tapi Nares yang nolak.” Lagi-lagi Danu membongkar aibku di depan sohibnya.

“Ternyata Nares emang udah jahat sama gue dari dulu ya.” Agam memegang dadanya sok hiperbolis sedangkan aku memilih untuk mengabaikannya. Dulu Danu memang sempat menawarkanku untuk berkenalan dengan teman-temannya, tapi kutolak karena aku masih dalam tahap penyesuaian diri jadi malas untuk menambah teman. Berbulan-bulan kemudian barulah aku mau berkenalan dengan mereka, itu pun tak sengaja ketika Danu membawaku mampir ke kosnya untuk mengambil barang yang tertinggal.

Di sana aku berkenalan dengan beberapa teman Danu, tapi hanya Agam yang paling dekat karena dia memang sobat setia Danu bahkan setelah luluspun mereka masih sering nongkrong bareng. Terkadang aku juga ikut kalau rasa malas sedang tidak menyerangku.

Seperti sekarang, kami bertiga sedang duduk-duduk manis di cafe milik Agam. Mencoba bernostalgia tentang indahnya masa-masa kuliah walau mungkin ini tidak tepat untukku karena nyatanya aku masih menyandang status mahasiswa. Gelar sarjana yang seharusnya bisa kudapatkan sejak dua tahun lalu gagal kudapatkan. Maka dari itu daripada ikut mengobrol, aku lebih tertarik menikmati lagu Ed Sheeran yang tengah diputar. Aku tidak punya banyak kisah yang layak kuceritakan seperti Danu maupun Agam.

“Skripsi lo apa kabar Na?” tanya Agam tiba-tiba dan membuatku langsung cemberut karena ia membahas salah satu topik yang aku benci.

“Skripsi apaan tuh?” tanyaku pura-pura bego. Danu sepertinya menyadari perubahan raut wajahku maka di detik berikutnya dia langsung mengubah topik pembicaraan.

“Bisa isi ulang gak nih?” Danu mengangkat gelasnya yang sudah kosong.

“Lo kira gue tukang galon.”

“Minumannya aja deh gak usah pake float.” Agam mencibir, tapi tak urung membawa gelas kosong milik Danu untuk diisi ulang. Sekadar informasi, cafe ini memang milik Agam yang dikelola bersama tunangannya sejak mereka lulus kuliah. Katanya modal usaha untuk nikah.

“Gak usah cemberut, nanti aku beliin yoghurt.” Danu mencubit pipiku. “Kamu tau sendiri Agam kaya gimana, dia gak maksud bikin kamu bad mood.”

“Iya tau, tapi tetep aja aku kesel dengernya.”

“PMS ya?” Aku mendelik sedangkan Danu terkekeh pelan. Jangan kaget kenapa Danu tiba-tiba berbicara aku-kamu karena sejak kita pacaran dua setengah tahun lalu dia langsung mengubah gaya bicaranya.

“Oh iya, tiket buat minggu depan udah aku beli.”

Lihat selengkapnya