End to Start

Flaminstalized
Chapter #6

Kereta dan Perjalanan

“Makasih mas Ghava, maaf ngerepotin,” ujarku pada lelaki di dalam mobil yang sudah mau kurepotkan untuk mengantar ke stasiun. Dia tersenyum ramah, khas seorang kakak kepada adiknya.

“Iya sama-sama, titip salam ya buat Bapak sama Sam, maaf mas nggak bisa ikut ke sana.”

“Iya mas nanti aku sampein.” Aku membalas senyumnya.

“Danu, jagain Nares baik-baik!” pesan Mas Ghava yang langsung dibalas gerutuan oleh Danu.

“Ini yang adiknya mas Ghava itu aku atau Nares sih?!” Aku dan Mas Ghava kompak tertawa. Danu selalu protes ketika Mas Ghava lebih memperhatikanku dari pada dirinya.

“Pengennya sih bilang Nares, tapi sayangnya adeknya mas itu kamu Dan!” Danu mencebikkan bibirnya lalu memilih menarikku untuk segera beranjak dari sana.

“Nares berangkat ya Mas,” pamitku.

“Hati-hati.” Aku mengangguk pasti.

Setelah mencetak tiket, kami berdua langsung check in. Kebetulan kereta yang akan kami naiki sudah tiba di stasiun Pasar Senen, salah satu stasiun terbesar di Jakarta yang melayani transportasi jarak jauh.

Jam menunjukan angka sebelas kurang. Maka aku dan Danu buru-buru masuk ke dalam kereta setelah naik turun tangga karena kereta Tawang Jaya akan berangkat tepat pukul sebelas. Hal yang paling aku tidak sukai dari stasiun ini adalah dari tempat check in menuju keretanya terlalu jauh.

Begitu kami sampai di gerbong sembilan dan nomor kursi sesuai dengan tiket, Danu langsung melepas tasku dan menaruhnya di atas bagasi. Aku duduk dekat jendela sedangkan Danu di sebelahku.

“Nanti jadi dijemput sama Bapak?”

“Iya, aku udah bilang kok.” Danu ngangguk-angguk. Ini adalah perjalanan pertama kami menggunakan kereta jarak jauh, dulu ketika Danu pertama kali berkunjung ke rumahku saat Ibu meninggal dan mas Ghava ikut bersama kami karena khawatir membiarkanku yang masih dalam keadaan syok harus pulang dengan angkutan umum.

“Tapi nggak apa-apa ngerepotin Bapak?”

“Gapapa kok, Bapak malah yang nyuruh aku nggak usah naik bis soalnya kan dari stasiun Weleri ke rumah aksesnya agak susah.” Salah satu penderitaanku tinggal di Temanggung adalah tidak adanya akses kereta api yang membuatku mau tidak mau harus turun di Kendal setelah itu naik angkutan umum ke rumah atau minta dijemput.

Sebenarnya ada cara lebih mudah, bisa saja aku naik bis langsung jurusan Jakarta-Temanggung, tapi aku tidak begitu suka naik bis lama-lama karena suasananya beda dengan kereta dan aku lebih berpotensi untuk mabuk perjalanan. Jadi, aku lebih memilih jalan memutar.

“Aku jadi pengen cepet-cepet beli mobil biar kalau kamu mau pulang bisa aku anterin, tapi sekarang tabunganku belum cukup.” Aku tersenyum mendengar ucapan Danu. Bersyukurnya aku punya pacar seperti dia. Tuhan memang maha adil. Mungkin Danu adalah kompensasi darinya karena telah mengambil ibu dari sisiku.

“Nggak usah dipaksain, aku kan jarang pulang juga.”

“Ya sekalian buat sehari-hari juga biar kalau aku ngajak kamu pergi, terus tiba-tiba di jalan turun ujan kita nggak perlu repot-repot neduh cuma buat pake jas ujan.”

Ya Tuhan aku ingin memeluk Danu, tapi aku sadar kalau sedang di tempat umum. Takutnya nanti orang-orang malah iri melihat kami berpelukan lalu ujung-ujungnya menyumpahi dalam hati.

“Dulu kamu kaya gini juga gak ke mantan-mantan kamu?” tanyaku random. Omong-omong aku tidak pernah mencari tahu soal hubungan Danu sebelumnya, yang aku tahu dari Agam katanya sebelum pacaran denganku, Danu pernah pacaran dua kali dengan teman SMAnya.

“Pengen beliin mobil juga maksudnya?”

Lihat selengkapnya