Sebelumnya biar kuperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Naresya Arunika, mahasiswa pendidikan sosiologi semester 12 yang jika tidak bisa menyelesaikan skripsi tahun ini maka akan didepak dari kampus tanpa gelar sarjana yang seharusnya aku dapatkan setelah bertahun-tahun menjadi budak kampus.
Alasan aku terus menunda-nunda skripsiku adalah yang pertama karena aku tidak tahu apa yang akan aku teliti, kedua karena aku salah jurusan (alasan paling klise) dan ketiga karena aku sibuk dengan apa yang sedang aku kerjakan saat ini. Menjadi salah satu komikus di platform komik digital membuat fokusku teralihkan. Kadang bahkan aku lupa bahwa aku masih seorang mahasiswa.
Pekerjaanku lebih menyenangkan karena sesuai dengan minatku, sedangkan kuliah sama sekali tidak. Dulu aku hanya kemakan gengsi saja karena tidak ingin gap year atau kuliah di kampus swasta, alhasil sekarang aku menyesal. Andai dulu aku tidak asal-asalan memilih jurusan mungkin ceritanya akan berbeda.
Tapi ah sudahlah menyesalpun percuma toh tidak bisa mengembalikan waktu yang telah terbuang selama beberapa tahun ini. Aku hanya harus berusaha menamatkan studiku sebelum di depak. Tolong doakan aku agar niat itu segera terkumpul.
“Sya, sayurnya juga dimakan.” Teguran Kak Delyn mengudara membuyarkan lamunanku. Refleks aku menoleh padanya yang entah sejak kapan sudah bergabung di meja makan padahal tadi masih sibuk berkutat dengan kompor.
“Skip kak,” jawabku malas. Bukannya aku tidak suka sayuran, aku sedang malas saja memakannya.
“Kak Eca kan cuma mau makan sayur kalau dibawain kak Danu doang,” ejek Lana yang duduk di depanku. Aku melotot padanya, tapi dia malah memeletkan lidah. Iris yang melihat itu langsung terkekeh pelan.
“Oh, Danu jago masak ya?” tanya kak Delyn.
“Banget. Kayanya aku kalau nikah sama dia tinggal duduk manis aja. Dia udah bisa semuanya.”
“Kaya kak Danu mau nikahin kak Eca aja.” Lagi-lagi Lana melayangkan komentar yang membuatku ingin melemparkan mejikom ke arahnya, tapi tentu saja tidak kulakukan karena kak Shelma pasti akan memarahiku. Harga mejikom kan tidak semurah centong nasi.
“Jomblo diem aja deh.” Semua pasang mata langsung mengarah kepadaku. Aku mengerjap lalu tersadar. Sepertinya aku sudah menginjak ranjau, maaf ya teman-teman aku lupa kalau di sini hanya aku yang punya pacar. Ya salah sendiri kenapa milih jomblo.
Dengan tampang pura-pura tidak berdosa, aku memasukan piring bekasku makan ke wastafel lalu berniat kembali ke kamar saat suara Iris mengintrupsiku lebih dulu.
“Kak Eca, piringnya langsung dicuci.”
Aku menoleh dan tersenyum paksa. “Nanti ya Iris sayang, sabun cuci piringnya abis.”
Seakan tidak percaya padaku, Iris melongok ke arah wastafel lalu mengangguk setelah memastikan ucapanku benar.
“Nanti taro aja piring bekasnya biar gue cuci sekalian abis beli sabun nanti.”
“Widih, ada angin apa nih kak Eca mendadak rajin?” Memang manusia bernama Lana ini hobi sekali menguji kesabaranku.
“Lana cantik, masih pagi kalau mau ngajak ribut. Lanjut nanti aja ya kalau udah agak siangan.”
Lana tertawa ngakak sampai ia tersedak dengan makanan yang sedang dikunyahnya. Kini giliran aku yang menertawakan kebodohannya. “Mampus, karma instan!”