“Bapak!” panggilku pada pria berusia hampir setengah abad yang kini tersenyum cerah sambil merentangkan tangan menyambut pelukanku.
“Mau mangkat jam piro nduk seko kono?” (Berangkat jam berapa tadi?)
“Jam Sewelas.”
“Nang stasiun numpak opo?” (Tadi ke stasiun naik apa?)
“Kalih mas Ghava.” (Sama mas Ghava)
“Lho mas Ghava rak melu rene?” (Lho, Mas Ghava gak ikut ke sini?)
“Mboten lah pak, kan mas Ghava kudu kerjo.” (Nggak lah Pak, kan mas Ghava harus kerja)
“Oalah.” Bapak kemudian beralih menatap Danu yang sejak tadi berdiri di belakangku sambil memasang senyum terbaiknya. Lantas mereka bercakap-cakap singkat setelah Danu memberi salam dan mencium punggung tangan Bapak.
“Podo durung maem to? Meh maem saiki opo mengko wae nang omah?” (Pada belum makan kan? mau makan sekarang apa nanti aja di rumah?)
“Mengko mawon Pak nang omah.” (Nanti aja pak di rumah)
“Yowes!” Bapak lalu mengambil alih tas punggungku dan memasukannya ke dalam mobil jeep wrangler hitam yang terparkir cantik di belakangnya.
Aku dan Danu ikut masuk, aku duduk di depan sedangkan Danu di belakang sendirian. Aku menoleh untuk memeriksan Danu, takut dia merasa canggung atau semacamnya, tapi Danu terlihat santai. Bahkan selama perjalanan ia bisa membuka obrolan dengan bapak dan berakhir menertawakanku setelah Danu berhasil menceritakan salah satu kecerobohanku tempo lalu.
Setelah hampir dua jam perjalanan akhirnya aku sampai di rumah dengan cuaca sedikit mendung dan berkabut. Aku langsung merapatkan jaket begitu keluar dari mobil. Sudah hampir satu tahun aku tidak pulang hingga membuatku lupa dinginnya daerah ini.
“Dingin banget gila!”
“Padahal di Jakarta kamu selalu ngeluh panas dan suka banding-bandingin sama rumah, sekarang udah sampe sini malah ngeluh juga,” cibir Danu membuatku langsung mengerucutkan bibir dan memilih masuk rumah sembari mengabaikannya.
Begitu masuk, aroma masakan menguar ke segala penjuru rumah membuat langkahku mendarat di dapur alih-alih di kamar untuk menyimpan barang. Bude Ranti rupanya ada di sana, sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Bude!” panggilku membuat dia menoleh sekilas.
“Lho wes tekan.” (Lho, udah nyampe)
“Biasa bude, dijemput pembalap jadi cepet,” gurauku membuat Bude Ranti tertawa.
“Sam mana bude?”
“Paling iseh turu.” (Paling masih tidur) Aku meringis mendengar jawabannya, tapi tidak berani protes karena kalau di kontrakanpun sudah pasti jam segini aku masih tidur atau malah kadang baru tidur setelah begadang semalam suntuk.
“Kono tangike, dikon sarapan bareng.” (Sana bangunin, suruh sarapan bareng)
“Oke bude.” Aku beranjak ke kamar Sam—adikku—untuk membangunkannya, dan seperti kata bude Ranti dia memang masih tertidur lelap sambil bergumul dengan selimut tebalnya.