Malam itu Sam menyelinap ke kamarku sambil membawakan coklat panas. Dia duduk di tepi ranjang setelah meletakan gelas di atas nakas. Sam tidak mengatakan apapun dan hanya menatapku yang sedang sibuk mengotak-atik ponsel—membaca komenan para pembaca komikku.
“Piye Sam?” Akhirnya kuputuskan untuk membuka percakapan lebih dulu setelah meletakan ponsel dan melepas kacamata yang sebelumnya membingkai wajahku.
“Aku mau kuliah di Semarang aja mbak.”
“Hah, gimana?”
“Mbak nggak usah ngekhawatirin aku atau bapak. Nanti kalau udah kuliah, dua minggu sekali aku bakal pulang.”
“Kenapa tiba-tiba?” Aku mengerutkan kening. Seingatku dulu Sam pernah bilang ingin ikut aku kuliah di Jakarta.
“Nggak tiba-tiba kok mbak, aku udah mikirin dari jauh-jauh hari.”
“Kamu nggak jadi ikut mbak kuliah di Jakarta?” Sam menggeleng.
“Aku mau di Semarang aja biar deket dan bisa pulang motoran.”
“Sam—”
“Mbak Nares fokus aja sama kehidupan mbak di Jakarta, aku bakal di sini jagain bapak. Jadi, mbak nggak usah khawatir.” Otakku mendadak tidak bisa diajak berpikir. Entah kalimat apa yang harus aku ucapkan untuk membalas perkataan Sam.
“Aku boleh minta sesuatu gak mbak?”
“Kalau kamu minta mbak beliin sesuatu lagi, mbak lagi gak punya uang.” Sam tertawa.
“Bukan kok mbak, Sam bukan mau minta dibeliin sesuatu.”
“Terus?”
“Sam mau mbak serius sama skripsi mbak.” Mataku spontan membulat mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Sam yang bahkan seolah mampu meredam suara hujan di luar sana.
“Aku bukannya malu atau apa, aku cuma pengen ngewujudin keinginan ibu. Mbak tau sendiri kan ibu pengen banget liat mbak wisuda. Karena mbak anak pertama, jadi ibu pasti berharap banyak sama mbak.” Aku masih terdiam lantaran tidak menemukan kata-kata yang tepat.
“Maaf ya mbak kalau aku minta sesuatu yang berat. Aku tau mbak nggak sreg sama jurusan mbak sekarang, aku juga tau kalau dulu mbak sempet pengen berhenti kuliah.” Dari raut wajahnya aku bisa melihat Sam yang tampak merasa bersalah.
“Aku nggak mau mbak Nares sampe di DO karena nanti mbak Nares pasti nyesel sendiri.” Aku menatap Sam dengan pandangan bertanya. Dari mana dia tahu kalau aku akan menyesal?
“Kalau mbak emang bener-bener nggak mau ngelanjutin, kenapa mbak nggak keluar dari dulu aja?” Ah aku pernah memikirkan hal itu dan jawabanku adalah karena sayang sudah melangkah jauh dan aku takut dihujat oleh keluargaku kalau aku berhenti kuliah, tapi sekarang aku sudah berhenti memikirkannya dan memutuskan untuk tidak peduli pada omongan mereka walau beberapa jam yang lalu aku mulai goyah setelah berbincang singkat dengan bude Ranti yang berujung membuatku berpikir ulang untuk berhenti kuliah dan melanjutkan skripsiku.
“Mbak Nares udah bertahan sejauh ini jadi aku yakin mbak juga pasti bisa nyelesein skripsi mbak. Aku tau mbak bukan tipe orang yang bakal ninggalin sesuatu yang udah mbak mulai.” Sam seakan menjawab keraguanku sebelumnya, tapi kenapa dia bisa seyakin itu disaat aku sendiri bahkan tidak yakin dengan diriku?
“Aku nggak tau sesusah apa ngerjain skripsi, tapi aku percaya mbak pasti bisa.”
“Maaf ya Sam, mbak nggak bisa jadi kakak yang baik buat kamu.” Sam menggeleng lalu menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.
“Agak geli sih mbak, tapi mbak Nares udah jadi kakak terbaik menurutku.”
“Kamu kok tiba-tiba jadi kaya gini sih bikin mbak merinding aja.” Sam melepaskan tangannya dari wajahku sambil mencibir pelan.
“Nggak jadi muji deh mbak, aku tarik lagi kata-katanya.”
“Mana bisa!” Aku terkekeh. Sebagian bebanku langsung menguap karena percakapan kami malam ini.
“Mbak nggak bisa janji, tapi mbak bakal berusaha. Doain mbak ya semoga tahun ini bisa lulus.”