Aku menuangkan makanan kucing ke tempatnya manakala Yoru mengeong sambil berputar-putar di sekitar kakiku. “Bentar ya bentar,” kataku meski tahu bahwa kucing itu tidak akan mengerti dengan apa yang aku katakan.
“Nih, makannya pelan-pelan ya?” Aku menunduk dan meletakan tempat makan Yoru di lantai yang langsung disambutnya dengan rakus.
Kemudian aku berjalan menuju ruang tamu. Tidak ada siapapun di sana, rumah tampak sepi hari ini. Biasanya akan ada Iris atau Lana yang berkeliaran. Kak Shelma dan Kak Delyn juga seharusnya sudah pulang, tapi mereka tidak terlihat dimanapun.
Tumben.
Lantas aku kembali ke kamar. Mengecek ponsel yang sedang dicharger lalu berniat menanyakan keberadaan anak-anak kontrakan yang seakan kompak terlihat sibuk.
“Oh iya tadi Lana nelpon,” gumamku. Tadi siang aku sempat mengecek ponsel dan menemukan dua panggilan tak terjawab dari Lana, tapi kupikir Lana hanya iseng seperti biasanya maka aku tidak meneleponnya balik ataupun membalas pesannya yang kini sudah tertimbun pesan-pesan lain.
|Kalian pada nggak pulang?
Aku mengirim pesan pada grup chat Arumdalu, namun sampai dua menit tak ada satupun yang membalasnya. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Lana saja.
|Lan lo dimana?
Pesan terkirim. Lalu aku menggulir layar ponsel untuk membaca pesan-pesan Lana sebelumnya. Dia mengirim belasan pesan padaku lalu ketika aku membaca pesan teratas, napasku langsung tercekat dan jantungku seakan berhenti berdetak saat itu juga.
|Kak Eca papinya Iris meninggal.
Begitu pesan Lana yang kubaca berkali-kali berharap aku salah, tapi huruf-huruf yang tersusun di layar ponselku tak kunjung berubah. Masih menampilkan berita duka perihal kematian papinya Iris.
Pesan itu dikirim tadi pagi. Beberapa menit setelah aku berangkat menuju perpustakaan yang artinya berita itu sudah seharian mengendap di ponselku dan dengan bodohnya aku malah mengabaikannya. Sekarang aku tahu kemana perginya anak-anak Arumdalu.
Papinya Iris meninggal.
Kalimat itu terngiang di kepalaku membawa kembali ingatan masa lalu ketika Sam mengabari bahwa ibu meninggal. Saat itu aku juga tidak sempat mengangkat panggilannya. Semuanya persis seperti sekarang. Suasana kontrakan yang sepi dan kabar duka yang terlambat dibaca.
Dadaku seketika sesak dan aku tidak bisa memikirkan apapun. Otakku mendadak blank dengan napas yang berderu cepat tak beraturan. Rasa sakit kehilangan Ibu kembali menyeruak memenuhi hati dan pikiran.
|Lan
Dengan tangan bergetar aku mencoba mengirim pesan pada Lana untuk menanyakan lokasi kediaman Iris. Terseok-seok aku berjalan menuju pintu. Pikirku aku harus segera tiba di sana.
Belum sempat aku meraih knop pintu, pintu sudah terdorong dari luar disusul dengan presensi kak Delyn dengan wajah lelahnya.
“Kak Delyn, papinya Irisnya meninggal?” selorohku. Sekali ini lagi saja aku ingin memastikan. Mungkin Lana hanya bercanda.
Kedua mata kak Delyn terlihat pilu. Tidak ada kata yang ia ucapkan, ia hanya mengangguk pelan. Sedangkan aku lagi-lagi menolak untuk percaya. Aku memang pernah dengar bahwa papinya Iris sakit, tapi aku tidak menyangka berita duka akan menjadi endingnya.
“Kamu baru tau?” Pertanyaan itu seperti belati yang menikam dadaku. Rasa kesal dan sesal kembali menghampiri, andai tadi siang aku mengecek pesan dari Lana.
Melihatku yang tidak menjawab, kak Delyn pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri maka di detik berikutnya ia berujar, “Ayo bareng kalau mau ke sana, tapi kamu harus ganti baju dulu.”
Aku refleks menatap baju yang sedang kupakai lalu mengangguk. Aku lupa bahwa aku sudah memakai piyama karena kupikir malam ini aku tidak akan pergi kemana-mana.
Setelah ganti baju, kak Delyn menggiringku menuju mobilnya. Dengan baik hati ia mau mengantar ke tempat Iris, padahal aku yakin tadi dia sudah dari sana.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang kami obrolkan. Entah karena kak Delyn yeng terlihat lelah atau aku yang masih berusaha menerima kenyataan. Memang bukan aku yang kehilangan, Iris pasti lebih sedih berkali-kali lipat, tapi dadaku tetap terasa sakit seakan aku sendiri yang mengalami atau seakan aku kembali ke hari itu. Hari dimana aku kehilangan Ibu.
Menit berlalu dengan cepat, kak Delyn menghentikan mobilnya di depan rumah duka dimana sudah ada banyak orang berkumpul di sana. Suara tangis menyapa indra pendengarku, ucapan-ucapan bela sungkawa, tatapan prihatin atau wajah pilu dari keluarga Iris menjadi pemandanganku yang kini berdiri kaku di samping Lana.