Perasaanku sudah membaik sejak aku pergi ke rumah Danu beberapa hari lalu. Aku sudah bisa melanjutkan proposal skripsi tercinta serta menyelesaikan deadline komik digitalku.
Anak-anak Arumdalu juga sudah bisa bersikap seperti biasanya. Lana bahkan sudah kembali rusuh dengan segala makiannya untuk sang dosen pembimbing yang ia juluki gaek manyeso—jangan tanya aku apa artinya karena aku bukan orang minang.
“Lan, skripsi lo gimana?” tanyaku ketika kami berdua sedang anteng nonton Haikyuu. Sebenarnya Lana yang semula sedang nonton, aku hanya ikut-ikutan karena bosan—padahal aku sudah hatam menontonnya sampai season terbaru.
“Jangan nanya itu kak Eca aku lagi sebel sama Hanan!”
“Hanan yang partner skripsi lo itu?” Lana mengangguk. Berbeda denganku, tampaknya dosen pembimbing Lana menyarankannya untuk bekerjasama dengan anak bimbingannya yang lain— yang bernama Hanan itu—dan akhir-akhir ini sering Lana bicarakan.
“Iya kak, Hanan yang itu. Cukup kenal satu Hanan aja gak mau kenal Hanan yang lain, bisa mati muda lama-lama.” Aku tertawa mendengarnya. Bukannya prihatin, aku justru penasaran dengan sosok Hanan ini. Dalam benakku tergambar sosok lelaki jutek titisan kulkas, biasanya karater seperti itu dalam anime pasti keren benget, contohnya Uchiha Sasuke, Levi Arckerman atau Light Yagami.
“Jangan sebel-sebel banget Lan, siapa tau jodoh.”
Lana membelalakkan matanya tak terima. “Idih ogah, bukan tipeku!”
“Oh, emang tipe kamu kaya gimana?”
“Yang kaya Park Jihoon!” Lana menjawab antusias sedangkan aku malah melongo.
“Park Jihoon siapa?”
“Member Treasure kak.”
“Hah, apaan dah tuh?”
“Boyband Korea. Cakep-cakep banget asli, Kak Eca harus lihat!” Lana segera meraih ponselnya dan mengetikan nama Park Jihoon di kolom pencari google, tapi belum sempat ia tunjukan, aku sudah lebih dulu kabur ke dalam kamar.
Repot urusannya kalau Lana sudah bahas dunia perkoreaannnya. Bisa kelar nanti malam, Aku malas mendengarkannya karena demi apapun aku tidak tertarik pada mereka. Aku lebih menyukai mahluk-mahluk gepeng dalam anime atau manga.
Setelah masuk kamar, pandanganku langsung tertuju pada meja belajar dimana sebuah sketsa gadis berambut pendek tengah tersenyum sambil memegang beberapa tangkai bunga—tergeletak begitu saja tanpa sempat aku rapikan.
Gadis dalam gambar itu adalah Iris, aku sengaja menggambarnya tadi malam untuk kuhadiahkan pada Iris yang katanya akan pulang besok. Setelah acara pemakaman papinya beberapa waktu lalu, aku belum sempat menghubungi Iris untuk sekedar menanyakan kabar atau memberinya sepatah duapatah semangat. Aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya, maka dari itu aku memilih cara ini sebagai bentuk dukunganku padanya.
Aku tidak begitu pandai merangkai kata, tapi aku cukup percaya diri dengan hasil gambarku. Semoga saja Iris akan menyukainya. Danu juga sudah membelikan coklat dan pocky yang nanti akan aku masukan ke dalam kotak bersamaan dengan gambar buatanku. Niatnya aku ingin membuat hampers lucu.
Karena tidak kunjung menemukan kata-kata yang tepat, aku hanya menuliskan salah satu judul lagu favoritku di bagian belakang gambar. Lagu itu sering aku dengarkan ketika sedang dalam suasana hati yang kurang baik. Suara Yui yang khas berpadu dengan petikan gitar. Cocok sekali dengan Iris yang juga sering memainkan alat musik tersebut. Mungkin saja nanti dia akan ikut menyukai lagu itu dan berniat memainkannya dengan gitar kesayangannya. Aku pasti akan dengan senang hati mendengarkannya.
Judul lagu itu adalah I remember you.
※※※
Pukul lima sore, pesanku baru dibalas oleh Bu Ema—dosen pembimbing yang hampir kulupakan keberadaannya—beliau memintaku untuk menemuinya besok siang sambil membawa draft proposal skripsi yang sudah kukerjakan.
Tentu saja aku langsung menyanggupinya, meski sedikit berdebar lantaran setelah sekian purnama aku akan bertemu lagi dengan wanita yang sudah berkepala empat itu.
Berulang kali aku membaca draft proposalku sebelum menemui bu Ema. Mencoba memahami semua isinya, kalau-kalau beliau akan bertanya banyak hal. Sejauh yang aku tahu, Bu Ema bukan tipe dosen killer jadi semoga saja bimbinganku besok lancar jaya.
“Sya, makan dulu sini. Shelma bawain sate.” Ketukan pintu terdengar bersamaan dengan suara Kak Delyn. Aku melirik jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya aku tidak sadar kalau waktu sudah berlalu secepat ini.
“Iya kak Del sebentar.” Aku melepaskan pentab dan mematikan layar komputer sebelum keluar dari kamar dan menyusul Kak Delyn ke ruang makan.
“Iris gak ikut makan?” Aku duduk di samping Lana yang sudah sibuk mengunyah sate ayamnya dengan khidmat.
“Kan dia belum pulang Ca.” Kak Shelma yang menjawab sambil mengisi piringnya dengan nasi. Sedang aku hanya meringis. Lupa kalau Iris masih di rumahnya dan baru akan pulang besok.
“Nih makan yang banyak!” Kak Shelma memberikan piringnya yang sudah terisi nasi kepadaku.