Ending Scene

RED
Chapter #2

BAB 1

Saat kedua tangan mungil kita saling bertautan,

Berlarian menyisakan jejak-jejak kecil di pesisir pantai,

Suara gelak tawa yang beradu dengan deburan ombak,

Apakah kenangan itu masih sempurna di hatimu?

Apakah kisah itu masih melekat di ingatanmu?

Apakah cerita itu ‘kan selalu menjadi alasan saat jantungmu berdebar?

Lantas, apakah semua akan berubah jika aku ‘mengatakannya’?

-Devan

“Lea!”

Lea yang sedari tadi sibuk melakukan kegiatan ‘cap-cip-cup’ segera bangkit dari tempat duduknya, membalas lambaian dari seseorang yang amat ia kenali dengan senyumannya. Anak laki-laki itu adalah salah satu dari dua opsi yang harus dipilih Lea—opsi dalam kegiatan ‘cap-cip-cup’-nya tadi.

“Hai, Devan! Ada perlu apa denganku?”

“Bukan apa-apa, Lea. Aku hanya ingin memberikan ini padamu,” Devan menyerahkan sebuah tiket pada Lea. “masalahnya aku terlalu takut untuk pergi sendiri, jadi aku berpikir untuk pergi bersamamu. Tiketnya untuk penerbangan besok,” lanjut Devan.

“Okinawa? Kenapa mendadak sekali? Aku harus memikirkannya dulu. Sepulang sekolah tunggu aku di atap sekolah.” Lea tersenyum canggung.

“Baiklah, sampai jumpa nanti.”

***

Mengabadikan indahnya pantai Okinawa dengan kedua matanya sendiri dan merasakan gulungan ombak-ombak kecil yang saling berkejaran adalah impian Lea sejak dulu. Sisi buruk dari dalam diri Lea berbisik untuk menerima ajakkan Devan, tapi sebagian dari dirinya meyakinkan Lea untuk menepati janji yang telah ia sepakati kemarin.

“Maaf,” ujar Lea dengan penuh rasa bersalah. Lagi-lagi pilihan Lea akan membuat salah satu dari mereka terluka, “aku sudah berjanji untuk ikut Alfin berkemah besok.”

Terlihat Devan yang memaksakan senyumnya, lalu ia mengambil satu langkah mundur dari Lea. 

“Ah, jadi begitu, ya? Tidak apa-apa, aku akan mengajak yang lain saja. Nikmati kemahmu besok, Lea! Aku pergi dulu.”

Devan melangkah pergi. Lea yang belum sempat mengucapkan sepatah kalimat hanya mampu menatap punggung laki-laki itu. Menjauh dan menghilang di balik pintu yang menghubungkan atap sekolah ini dengan ruang di bawahnya.

Satu helaan napas ke luar dari bibir Lea. Matanya memutar. Untuk saat ini, Lea memilih untuk duduk, menyandarkan punggungnya di pagar semen atap ini. Langit yang begitu cerah rupanya tak mampu mengalihkan pikiran Lea. Pikirannya berkecambuk. 

Memilih satu di antara mereka—Alfin dan Devan—artinya, menyakiti satu orang di antaranya. Ingatan Lea tentang cinta pertamanya yang belum sepenuhnya pudar membuat Lea sulit untuk memilih satu di antaranya. Lea mungkin akan menyesal karena menolak ajakan Devan pergi melihat salju di negara empat musim itu, tapi mungkin juga Lea tidak akan menyesali pilihanya untuk pergi berkemah besama Alfin.

Beberapa alasan terkadang menuntun Lea pada sebuah jawaban. Meskipun bisa jadi jawaban itu semakin jauh dari keinginan hatinya. Memulai kisah baru bersama seseorang itu artinya sepakat bahwa suatu saat kisah ini akan berakhir. Bagaimanapun, Lea akan memilih dengan hati-hati. Seseorang yang ia sukai dan juga benar-benar membutuhkan Lea untuk mendampingi hidupnya.

***

Hari itu pun datang. Seperti rencana awal, Lea berkemah bersama Alfin.

Nampak dua tenda lipat milik Lea dan Alfin berdiri sempurna, berbaur dengan beberapa tenda yang ada di bumi perkemahan tersebut. Lea membentangkan kursi lipat di depan tendanya, tidak lupa menyiapkan satu kursi lain untuk Alfin. Angin sepoi-sepoi meniup anak rambut di dahi Lea. Tanpa Lea sadari, Alfin terus menatap ke arah Lea. Hal sederhana, tapi lebih dari cukup untuk membuat Alfin merasa bahagia.

“Mengapa kau memilih pergi bersamaku?” pertanyaan Alfin akhirnya mengisi hening di antara mereka berdua.

“Karena kau yang mengajakku lebih dulu, dan aku sudah berjanji padamu,” jawab Lea dengan tenang.

“Jadi, seandainya Devan yang mengajakmu lebih dulu, kau akan ikut dengannya?” Alfin bertanya lagi.

Lihat selengkapnya