Ending Scene

RED
Chapter #3

BAB 2

Gurat wajahmu masih begitu jelas,

Tidak beranjak satu sentipun,

Enggan memudar dalam ingatanku,

Haruskah aku merindukanmu?

Bahkan di setiap embus napasku?

-Devan

Arjuna Devan, atau lebih sering dipanggil dengan Devan. Sekarang usianya menginjak 27 tahun. Berstatus lajang dan memiliki hidup yang mapan sebagai salah satu komikus paling popular di kalangan remaja. Tepatnya sudah tujuh tahun Devan meniti karir sebagai komikus dan webtoonis. Selama itu pula, ia telah memutuskan untuk hidup mandiri—jauh dari keluarga—dengan membangun rumah bersama sahabatnya, Alfin. Ralat. Dua sahabatnya, sebelum salah seorang yang berharga pergi meninggalkan mereka, Lea.

Sama seperti Devan, sosok Alfin juga berkecimpung dalam dunia webtoon. Mereka menjadi semakin akrab setelah saling mengenal dalam lingkup perusahaan yang sama, meskipun dulunya mereka satu sekolah. Berbeda dengan Devan, Alfin berada pada posisi pemasaran dan Devan bagian tim produksi atau bisa disebut bagian author webtoon. Sedangkan Lea, eum...

Sebelum ‘My Love Story’—webtoon yang kini tengah booming di kalangan remaja, sebelumnya Devan telah menulis beberapa karya Webtoon lainnya, seperti; “Love in the Moonlight”, “My Wedding Boys”, dan “My Lovely Boss”. Webtoon yang ditulis Devan memang hanya berkisar pada kisah percintaan yang memiliki konflik-konflik sederhana para remaja, tetapi justru itulah poin pentingnya, Devan memiliki target yang besar untuk kalangan remaja. Ceritanya yang ringan justru membuatnya banyak diminati pembaca, khususnya bagi remaja.

Seperti biasa, setiap dua hari sekali Devan melakukan olahraga ringan seperti shit-up dan push-up. Masing-masing sebanyak tiga puluh kali untuk memulai paginya. Pekerjaannya sebagai author webtoon tidak mengharuskannya untuk datang ke kantor setiap hari. Bahkan dirinya telah memiliki ruangan kerja sendiri di dalam rumahnya.

“Aku seharusnya mendapat bayaran karena melakukan hal ini setiap hari,” gerutu Alfin sambil membawa nampan besar berisi dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, tak lupa dua gelas susu sebagai pelengkap gizi empat sehat lima sempurna.

“Seharusnya kau lebih memahamiku kalau aku sibuk, Devan! Jangan lupakan kalau aku lebih sering ke kantor daripada dirimu!” lanjut Alfin.

“Aku akan membayarmu jika kau juga membayar sewa untuk kamar dan fasilitas rumah yang kau gunakan setiap hari. Perlu kau tahu bahwa aku membeli rumah ini bukan untuk menyenangkanmu. Jangan sampai kau lupa siapa bos nya,” timpal Devan 

“Diam dan makan saja sarapanmu,” Alfin akhirnya mengalah. “tapi kenapa kau harus membuat sekuel lainnya untuk mennyelesaikan komikmu kali ini?” tanya Alfin dengan hati-hati.

Seperti biasa Devan selalu memecah kuning telur setengah matangnya. Alfin yang melihat hal tersebut membuatnya kesal setengah mati. 

“Tidak ada alasan khusus.” Devan menjawab singkat. 

Lupakan soal kuning telur yang baru saja Devan pecahkan. Kini ekspresi Alfin terlihat serius. Ia menatap Devan tajam. 

“Kau tahu bukan itu alasannya,” nada bicara Alfin semakin serius.

“Untuk apa kau bertanya jika sudah tahu jawabannya?”

Alfin menghela napas panjang. “Aku tidak peduli dengan ending cerita yang akan kau buat untuk ceritamu kali ini. Tapi, kau harus segera mengakhirinya dengan cepat.”

Devan meletakkan garpu dan sendoknya. Mengakhiri sarapannya lebih cepat daripada biasanya. Devan bangkit dari meja makan. Melarikan diri dari topik yang Alfin bicarakan.

“Menggambar Lea lebih lama tidak akan merubah apa pun, Devan,” Alfin ikut bangkit dari meja makan, “ingat Devan, Lea sudah pergi. Lupakan dia!”

Devan menghentikan langkahnya sesaat. 

“Apa saja jadwalku untuk hari ini?” Devan mengubah topik pembicaraan.

“Tidak banyak, hanya acara fans-sign yang telah kau sepakati bulan lalu dan juga pergi ke psikiater.”

Devan meletakkan piring kotornya kasar dan berlalu sambil menyampirkan handuk ke bahunya dan menuju kamar mandi.

“Berapa kali aku harus menolaknya? Sudah kubilang, aku tidak gila, Fin! Aku baik-baik saja.”

“Baiklah, kalau begitu aku yang gila. Jadi, mari kita pergi bersama, huh? Aku sudah menemukan psikiater baru untuk kita kunjungi, kuharap kali ini benar-benar berhasil. Bagaimana jika besok kita ke sana?” ucap Alfin dengan gigih membujuk Devan.

“Aku akan kembali tidur. Bangunkan aku nanti untuk acara fansign,” Devan mengabaikan ucapan Alfin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan saran-saran itu.

“Mau sampai kapan kau akan menyakiti dirimu seperti ini, Van? Dari awal aku sudah berusaha untuk menghentikanmu. Pertanyaanku masih sama, mengapa kau harus menggunakan Lea sebagai karaktermu? Aku masih bisa menerima jika kau memakai wajahku dan juga namaku sebagai karaktermu. Tapi Lea? Jika seperti ini kau tidak akan bisa melupakannya, Devan.”

Langkah Devan kembali terhenti. Ia menoleh, menatap Alfin. 

“Untuk apa aku melupakan Lea, jika aku bisa mengingatnya?” ucap Devan tegas. Dengan tatapan tajam, pandangannya tidak bisa lepas dari Alfin. “tapi, ngomong-omong kenapa penampilamu seperti itu?” Devan menunjuk Alfin dengan pakaian serba hitamnya dan masker yang ia pakai.

“Menurutmu kenapa? Si bad boy tampan nan rupawan, tokoh webtoon yang selama ini mereka baca benar-benar ada di dunia nyata. Bukankah itu saja sudah cukup memicu kehebohan di acara fansign nanti. Bagaimana jika mereka tahu jika tidak hanya Devan, tapi juga Alfin benar-benar ada di dunia nyata. Tenang, aku tidak akan mengambil popularitasmu. Aku bukan pengkhianat kawan.”

Lihat selengkapnya