Ketika kedua mata kita saling bertautan.
Hatiku kembali bergetar.
Tidak, seharusnya bukan dia.
Apakah aku memeluk orang yang tepat?
- Lea
Alfin menarik Lea dalam pelukannya. Waktu berhenti. Bukan sekedar kata-kata kiasan atau kata puitis, namun waktu benar-benar berhenti! Kobaran api unggun yang seharusnya menyala-nyala tidak bergerak satu sentipun. Dedaunan yang berjatuhan melayang di udara. Seolah adegan film yang sedang dijeda, semuanya terhenti.
Menyadari tubuh Alfin menjadi kaku, Lea melepaskan diri dari pelukan Alfin. Pemandangan di hadapan Lea membuatnya terduduk lemas. Lea tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya, sebuah tulisan “TO BE CONTINUED” muncul di atas tenda miliknya.
Tak lama kemudian, kilauan cahaya muncul dari dalam tenda. Lea yang penasaran pun segera berdiri dan menuju tenda. Sebuah pintu transparan terbuka lebar di hadapan Lea. Tidak ada pilihan lain bagi Lea selain mencoba masuk ke dalam. Mungkin dengan masuk ke dalam bisa membantu Lea menemukan jawaban dari situasi tidak masuk akal ini.
Sebuah lorong gelap. Lea hanya menggunakan flashlight ponsel-nya sebagai penerangan. Ia terus menyusuri lorong tersebut sampai akhirnya Lea melihat cahaya di bagian ujung Lorong tersebut. Cahaya membawa Lea pada sebuah pintu yang lain. Jemarinya membuka pintu itu perlahan dan membawa Lea pada sebuah kamar yang asing bagi Lea.
Kamar bernuansa putih abu-abu. Dinding putih tampak kosong tanpa hiasan apa pun. Lea mencoba mencari tahu tentang siapa si pemilik kamar. Netranya berhasil melihat beberapa bingkai foto berjajar di sebuah—bisa disebut sebagai meja kerja si pemilik kamar.
“Wah, besar sekali monitornya. Dia pasti seorang komikus,” tebak Lea seketika, saat melihat alat bernama Wacom, scanner, dan juga buku sketsa berukuran besar.
Lea mengamati foto masa kecil yang terpajang di atas meja. “Cukup menggemaskan. Untuk seorang laki-laki, kamar ini sangat bersih. Tapi mengapa foto ini terlihat familiar?” Lea meraih bingkai foto lainnya yang semula menutup.
“Bagaimana bisa? Sebenarnya di mana aku. Apa mungkin ini semacam dunia paralel? Mengapa terdapat foto Alfin dan Devan di sini?” mata Lea membola.
Dengan panik Lea membuka buku sketsa mencoba mencari petunjuk lainnya. Dan benar saja sketsa tersebut justru memberikan fakta yang lebih mengejutkan. Gambar-gambar dalam buku sketsa berwarna biru itu sama persis dengan kehidupan Lea. Pada halaman pertama tergambar jelas dengan tulisan dari karakter bernama ‘Devan’, ‘Alfin’ dan ‘Lea’. Satu kalimat berhasil menarik perhatian Lea, “My Love Story” itulah judul yang tertera pada bawah karakter.
Kini Lea telah sepenuhnya mengerti—meskipun tidak rela—bahwa selama ini dunianya hanyalah imajinasi belaka. Kehidupan yang ia jalani hanya sebuah jalan cerita yang telah ditentukan oleh penulis. Namun Lea belum mengetahui penulis webtoon yang selama ini ‘menggambar’ kisahnya.
“Aku harus mencari tahu tentang penulis yang menggambar hidupku. Apa yang menjadi alasan atas aku harus datang ke mari. Jika ‘Devan’ dan ‘Alfin’ ada di dunia ini, lantas apakah sosok Lea juga nyata yang dijadikan karakter webtoon? Ah, terlalu rumit. Sekarang yang harus kulalukan adalah ke luar dari rumah ini. Uang! Benar juga, aku membutuhkan uang.”
Lea dengan terpaksa menggeledah setiap laci, berharap menemukan beberapa lembar uang. Dengan ajaib ia menemukan sebuah amplop cokelat berisikan uang. Lea mengambil beberapa lembar. Tidak hanya itu Lea tak sengaja menemukan linggis yang diletakkan asal di samping lemari.
Lea mengerahkan segenap tenaganya untuk membuka jendela kamar tersebut.
“Akhirnya aku bisa ke luar dari rumah itu. Pertama, sebaiknya aku harus mencari toko pakaian terlebih dulu.” Lea meratapi celana training berwarna merah yang ia pakai.
***
Tidak seperti rencana awal yang hanya ingin membeli pakaian layak untuk dikenakan. Lea justru masuk ke sebuah pusat perbelanjaan besar. Nalurinya sebagai gadis remaja saat ini tumbuh lebih kuat.
“Uangnya berkurang banyak karena kugunakan untuk membayar biaya naik taksi tadi, dan sekarang apa yang bisa kubeli di sini,” gerutu Lea pada dirinya sendiri saat berusaha memilih salah satu kaos dengan harganya yang sesuai dengan uang di sakunya.
“Kurasa ini cocok untukmu.”
Seorang wanita yang sejak tadi sibuk memilah pakaian di samping Lea tiba-tiba mencocokkan dress pendek yang tengah ia pegang ke tubuh Lea.
“Tenang saja, aku bukan orang jahat yang ingin menculikmu ataupun berbuat macam- macam. Aku hanya butuh teman untuk berbelanja. Kau mau temani aku?”
"Tapi...."
"Sudahlah, kamu tidak perlu tau siapa aku, apa tujuanku. Aku hanya ingin berteman denganmu, Lea."
Lea mengangguk meski dengan terpaksa. Tidak ada pilihan. Bagi Lea, mempercayai seseorang yang menawarkan bantuan--terlebih seorang wanita--adalah keputusan tepat, terlebih Lea masih asing dengan semua yang ada di hadapannya.
"Ah, kenalkan namaku Thalia. Kau boleh memanggilku Kakak," lanjut gadis itu terseyum hingga nampaklah kedua lesung pipinya.