Dapatkah waktu berhenti?
Aku ingin lebih lama memandang lekuk wajahmu.
Tenggelam dalam sorot matamu.
Dan, jika kau izinkan,
Aku ingin menyesap aroma candu darimu.
Lea, jadilah nyata bagiku.
Meskipun ku tahu, kau hanya ilusi yang memabukkan.
—Alfin.
Seperti musim dingin yang berganti menjadi musim semi, suasana rumah ini benar-benar berbeda dengan beberapa hari yang lalu, hangat dan berwarna. Devan dan Lea tidak lagi terjebak dalam situasi yang canggung. Layaknya teman lama yang bertemu kembali, mereka dapat lebih banyak membicarakan hal tentang rasa dan dunia mereka masing-masing—lebih tepatnya Devan yang lebih banyak memberi penjelasan, karena dialah yang menciptakan webtoon. Ditambah lagi Alfin yang pandai membuat suasana menjadi lebih ceria dengan tingkah konyolnya bawaannya.
Saat ini, Lea, Devan dan Alfin ‘secara fisik’ memang terpaut usia sepuluh tahun. Tapi rasanya tidak begitu. Berasal dari dunia yang berbeda, peran mereka sebagai sahabat yang menghabiskan masa remajanya bersama membuat mereka bertiga cepat akrab.
Sama seperti keberadaan Devan dan Alfin yang nyata, Lea yakin jika ada Lea ‘lain’ yang menjadi bagian hidup mereka berdua. Melihat Devan dan Alfin yang sangat akrab dan peduli satu sama lain--berbeda dari hubungan ketiganya di webtoon--membuat Lea menyingkirkan rasa serakahnya untuk ingin tahu tentang masa lalu mereka.
Devan menurunkan layar putih berukuran besar yang ada di ruang tengah. Setelah memastikan layar proyeksi terpasang dengan benar, Devan segera menutup semua tirai. Sementara Alfin segera memangambil popcorn, dilengkapi dengan soda dengan gelas berukuran besar yang telah disiapkannya sepuluh menit lalu.
Lea duduk di tengah dengan satu mangkuk besar berisi popcorn di tangannya, sementara Devan dan Alfin yang duduk mengapit Lea mmembawa measing-masing satu gelas cola ukuran besar.
“Alice Through the Looking Glass” menjadi pilihan Lea pada kegiatan ‘menonton’ kali ini. Devan yang semula sangat keras menolak karena sudah pernah menontonnya, akhirnya menuruti keinginan Lea setelah desakan yang tak kalah besar dari Alfin.
Berbeda dari Lea dan Alfin yang benar-benar fokus menonton film, Devan justru sibuk memakan popcorn dengan perasaan sebal. “Aku menggambarmu dengan usia 17 tahun di tahun 2020. Jika kau merasa menjalani kehidupanmu secara utuh di dunia webtoon, maka itu artinya kau lahir pada tahun 2003, seharusnya kau juga sudah bisa menonton film ini empat tahun lalu!”
“Apa salahnya menonton film sebanyak dua kali. Bukankah seharusnya kau melupakan beberapa adegan pada film yang sudah kau tonton empat tahun lalu? Asal kau tahu saja, Va. Aku baru selesai menonton ‘Alice in Woderland’ sehari sebelum Alfin mengajakku berkemah, dan itu rasanya seperti beberapa hari yang lalu. Kau seharusnya mengerti betapa bahagianya aku saat melihat dvd ini di salah satu rak milikmu! Kau yang menggambar, kau juga yang lupa, dasar!” cerocos Lea tanpa menoleh.
“Apa susahnya menyenangkan gadis manja ini? Ingat, Devan, usinya baru 17 tahun. Seharusnya kau mengalah. Anggap saja dia ini adikmu yang sedang merengek mengajak pergi menonton film di bioskop,” ujar Alfin yang kemudian menyeruput colanya.
“Tidak ada yang istimewa dari film ini, hanya menceritakan si Alice yang kembali ke Underland dan bertemu lagi dengan teman-temannya yang dulu dengan pergi mencuri ‘mesin waktu’ milik Tuan Waktu untuk menyembuhkan Hatter yang gila dan….”
“Diam Devan! Lebih baik biarkan aku menonton film-nya sendiri, kau tidak perlu memberitahuku tentang bagaimana alur ceritanya. Kau juga harus berhenti meledekku, pak tua!” Lea menoleh dan menghantam Devan dan Alfin dengan bantal.