Takdir membuatku menemukanmu.
Seperti menebus kesalahan,
takdir mengembalikkanku padamu.
Dengan sebuah alasan,
satu alasan itu adalah…
Untuk mencintaimu.
-Devan
Lea mengerahkan kekuatannya untuk membuka mata. Dengan setengah sadar, ia turun ke lantai 1 menuju dapur. Lagu milik Ed Sheeran berjudul “Thingking Out Loud” menggema memenuhi ruang dapur. Langkah Lea berhenti di depan lemari pendingin. Ia menoleh sembari membuka sedikit matanya untuk memastikan sosok yang kini tengah menatapnya heran.
“Good morning,” sapa Lea masih dengan mata tertutup. “Apa kau punya susu stroberi?” Kini Lea berhasil membuka matanya lebih lebar.
“Tentu saja, itukan salah satu komponen penting dalam hidupku. Kau boleh mengambilnya satu.” Ia tersebut menjawab santai. Meresapi lagu yang sedang ia putar. “…and we found love right where we are.” Dengan penuh penghayatan ia melantunkan baris terakhir dari lagu tersebut.
Pagi yang seharusnya bisa berjalan dengan damai rusak dalam hitungan detik. Baru saja Lea menancapkan sedotan pada susu stroberi yang ia pegang, sosok yang sedari tadi sibuk dengan kegiatan pagi-nya tiba-tiba berteriak histeris menghentikan Lea. “STOP! Jangan bergerak!” Peringatan sosok yang tidak lain adalah Alfin, membuat Lea sadar sepenuhnya. Lea menghentikan seluruh gerakan.
“Tidak. Kau tidak boleh meminumnya.”
“Mengapa? Apakah tanggal kadaluwarsanya sudah terlewat?” tanya Lea asal. Menebak alasan dari sikap pencegahan Alfin yang begitu keras.
Alfin merampas susu kotak itu dari tangan Lea, “No no no. Bukan karena itu, hanya saja aku harus menyelesaikan kegiatan pagiku. Setelah memutar satu lagu, aku akan meminum sekotak susu stroberi. Dan susu yang hampir saja kau minum ini adalah susu terakhir yang kumiliki.”
“Melewatkannya satu hari tidak akan membuat tenggorokanmu berlubang. Lagipula Alfin yang kutahu tidak suka dengan stroberi.” Kali ini Lea balas merampas susu milik Alfin kembali.
“Cih, meskipun wajah dan namaku sama dengan pacarmu, aku jauh lebih hebat daripada karakter yang Devan gambar. Alfin protes karena Lea mencoba membandingkan dirinya dengan ‘Alfin’ didunianya. Alfin kembali melanjutkan perampasan susu kotak stroberi-yang memang miliknya. Alfin menyedot cepat susu stroberi tersebut untuk menghindari perang berkelanjutan.
“Ngomong-ngomong kau sudah tidak marah lagi padaku?” Lea memberanikan diri untuk bertanya mengenai hal yang menurutnya sensitif.
Alfin mengacak rambut Lea. “Lupakan saja masalah kemarin, kau terlalu imut untuk bisa aku marahi, maaf jika aku terlalu berlebihan kemarin.”
Lea menunjukkan senyum lebarnya, merasa bersyukur karena Alfin tidak benar-benar marah padanya.
“Kau boleh meminum punyaku. Kau tahu, kan? Aku tidak begitu suka stroberi?” Devan turun dari lantai dua dan memberikan susu yang di ambilnya dari lemari pendingin yang ada di ruang kebugaran.
“Kau yang terbaik, Devan.”
Tak ingin berlama-lama di dapur. Lea memutuskan kembali ke kamar dan menunda sarapan paginya. Mulutnya sibuk menyeruput susu kotak saat menaiki anak tangga. Setelah Lea berhasil membuka daun pintu kamar itu, ia langsung melempar tubuhnya ke atas kasur.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Lea kembali bermalas-malasan di kamar. Hanya saja, rasa penasarannya harus segera ia penuhi. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya tentang kejadian semalam, ketika Lea terbangun dan tak dapat kembali tidur. Ia mencoba menulusuri setiap sudut kamar itu, termasuk memilah beberapa buku yang tersusun rapi dalam rak di sebelah kasur. Dan Lea pun mendapati sebuah album penuh dengan foto-foto yang diyakininya sebagai album kenangan.
Segera Lea membuka benda itu dan tepat ketika ia baru saja membuka album tersebut, foto ketiga sahabat Devan, Lea, dan Alfin tampak begitu bahagia dengan senyum lebar yang tidak pernah ia liat selama ini, baik Devan dan Alfin di dunia webtoon, maupun Devan dan Alfin Lea temui saat ini. Seragam menengah yang sama dengan rangkaian bunga yang mengalung di leher ketiganya. Lea menemukan beberapa hal yang sama dengan di dunia webtoon. Mulai dari seragam mereka, sekolah mereka, bahkan beberapa baju yang ditampilkan di foto sama persis dengan baju-baju yang Lea miliki. Hanya saja, di dunia webtoon, ketiganya tidak menjalin sebuah persahabatan. Miris sekali. Satu dua halaman album telah Lea lewati. Ia kembali mengamati setiap foto yang ada. Lea pun beranjak dari posisi rebahannya, lalu meletakkan kotak susu yang kosong di atas nakas. Kedua tangan Lea pun mengambil album di meja sebelah rak dan merengkuhnya menuju kasur.
Telunjuk tangan Lea membelah album itu cepat, menampilkan bagian tengah album. Tidak ada foto apa pun di sana. Hanya ada satu bunga yang sudah pipih mengering dan beberapa kelopaknya telah tanggal. Lily. Lea sangat yakin ini bunga Lily. Warna putihnya yang kusam bahkan kelopaknya telah rapuh tidak menghilangkan ciri dari bunga tersebut.
Lea berdecih. Otaknya berpikir keras. Diangkatnya bunga kering itu sembari memutar-mutarnya. Kelopak mata Lea semakin menyipit tatkala pikirannya semakin keras berpikir. Dalam hidupnya selama 17 tahun ini, tidak ada satu pun kenangan mengenai bunga putih ini. Sekelebat pikirannya mengarah pada Devan dan Alfin yang mungkin saja menyukai bunga ini. Namun ia ragu, rasanya mustahil kedua pria itu menyukai bebungaan.
Lama tak menemui hasil. Lea kembali meletakkan bunga itu. Ia baru menyadari bahwa di halamat album itu tercetak seperti pernah disinggahi foto, dengan bentuk persegi. Entahlah, Lea sudah pusing untuk berpikir. Dibaliknya lagi halaman berikutnya. Terlihat foto sepasang tangan kiri dengan sebuah cincin di masing-masing tangan tersebut. Terlihat sebuah sticky note dengan tulisan tangan di samping foto itu. Terima kasih, Lea.
DEG.
Entah bagaimana. Tiba-tiba jantung Lea berpacu lebih cepat. Dengan susah payah, Lea berusaha mengambil foto itu dari tempatnya. Lea mengambil kartu nama Thalia yang ia sembunyikan disalah satu buku bacaannya. Menemui wanita itu, saat ini adalah satu-satunya hal yang bisa Lea lakukan saat ini.
***
Lea berhasil menghubungi Thalia dengan ponsel yang diberikan Alfin. Beruntung Thalia bersedia menemuinya ditempat yang tak jauh dari rumah Devan dengan begitu Lea bisa beralasan keluar sebentar untuk berolahraga.
Kali ini Lea enggan berbasa-basi dengan Thalia. Lea menceritakan siapa identitas dirinya yang sebenarnya dan juga bersama siapa Lea tinggal sekarang.. Seperti dugaan Lea, Thalia tampak tidak terkejut mendengar semuanya.
Thalia mendesah pelan. “Aku tidak percaya kau menceritakan hal semcam ini dipertemuan kedua kita. Apa kau berpikir aku akan mempercayai cerita gilamu ini?
“Kak Thalia bahkan tidak terkejut sama sekali mendengar ceritaku. Bagiku itu lebih dari cukup dibandingkan kata percaya. Itu artinya pertemuan kita bukan hanya sebuah kebetulan, kan?”
Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kau ikut denganku! Ayo...”