Ragaku diciptakan untuk mencintaimu
Dan itu di tempat lain
Namun, saat hatiku diberi kebebasan untuk memilih
Jawabannya bukan lagi dirimu
-Lea
Cahaya terang yang berpedar membuat Devan perlahan mendapatkan kesadarannya. Warna putih memenuhi seluruh ruangan. Aroma khas obat yang begitu Devan benci membuat napasnya tersengal. Ingatannya memutar kembali kejadian yang menyakitkan sepuluh tahun lalu.
Bayangan seorang gadis berumur 17 tahun itu semakin sering menyerang pikirannya. Wajahnya, senyumnya tak luntur sedikitpun. Sosok yang telah pergi selama sepuluh tahun itu, rupanya belum mampu ia lupakan. Bahkan semakin ia berusaha, semakin kuat bayangan itu mengusik. Lea. Entah sampai kapan ‘waktu’ akan menyelesaikannya.
Devan bersusah payah untuk bangkit dari ranjangnya, lalu ia memijat pelipisnya yang masih pening dan berusaha mengingat rangkaian kejadian sebelumnya—pertengkarannya dengan Alfin. Perlahan, Devan turun dari ranjang dan melepas infusnya, untuk segera melarikan diri dari tempat yang mengerikan baginya.
“Kau mau ke mana? Seharusnya kau masuk dan istirahat. Bukan malah berkeliaran di luar kamar seperti ini.”
Sebuah tangan mungil menahan lengan Devan. Lea dengan segera mencegah kepergian Devan dan mengajaknya kembali ke kamar. “Kau bahkan belum bisa berjalan dengan benar!” protes Lea saat melihat keadaan Devan yang terlihat kacau.
Keberadaan Lea di hadapan Devan membuatnya semakin tak karuan. Lagi-lagi ingatan Devan kembali bernostalgia dan membawanya pada kejadian sepuluh tahun lalu.
Baju putih Devan penuh dengan noda darah. Dengan langkah berat ia menyeret sepasang kakinya untuk melihat Lea untuk terakhir kalinya. Wajahnya tampak pucat, Devan meraih tangan Lea yang terasa dingin.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kita bisa ketinggalan pesawat jika kau tertidur seperti ini. Tidak, bukan seperti ini. Buka matamu Lea, aku mohon.” Devan terduduk lemas dengan memperat genggamannya. Semenjak detik itu seluruh dunia Devan telah runtuh seutuhnya. Setiap berada di rumah sakit trauma Devan tentang Lea kembali muncul.
Keringat dingin tampak membasahi pelipis Devan, “Lepas!” dengan napas tersengal, Devan menepis tangan Lea. Ia berhasil ke luar dari tempat itu dengan tertatih-tatih. Devan berdiri di tepi jalan dan berniat untuk menghentikan taksi.
Lea tidak menyerah terhadap Devan. Ia menyusul Devan. Lea menempelkan punggung tangannya pada dahi Devan untuk memeriksa suhu tubuhnya.
“Sampai kapan kau akan menyakiti dirimu seperti ini? Aku memang tidak tahu sejarah apa yang kalian bertiga miliki. Tapi apa pun itu Lea-mu juga tidak akan suka melihatmu terus kesakitan seperti ini,” ucap Lea frustasi.
“Jika aku bisa, aku akan menyiksa diriku sampai mati. Kau pikir aku tidak melakukan apa pun? Selama sepuluh tahun aku telah mencoba melepaskan semua rasa sakit mengerikan ini. Setiap hari aku selalu mengatakan pada diriku untuk bertahan satu hari lagi, satu hari lagi, dan lagi. Seperti itu setiap hari. Selama apa pun waktu berlalu, namun tidak ada yang berubah.”
“Jangan mencoba melepaskan rasa sakitmu Devan, kau harus mencoba untuk menerimanya. Biarkan orang lain juga memeluk semua rasa sakitmu.”
“Apa kau sedang membicarakan dirimu? Jangan membuat lelucon payah seperti itu. Apa kau menyukaiku? Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan Alfin saat ini. Sepertinya aku harus mengingatkanmu. Kau adalah Lea, karakter yang ku buat untuk mencintai Alfin. Jadi jangan bersikap seolah kau menyukaiku. Ah, dan satu lagi. Asal kau tahu lagi, aku telah menyelesaikan bab 1 untuk season 2. Begitu aku mengunggah bab tersebut, kau akan kembali ke duniamu. Jadi manfaatkan waktumu sebaik mungkin bersama Alfin.”
Devan mendesah keras. “Sebaiknya kau pulang saja. Alfin lebih membutuhkanmu sekarang. Lelaki itu pasti sedang sekarat sekarang. Kurasa aku tadi membalas pukulannya dengan keras,” lanjut Devan.
“Katakan dengan jelas, Devan! Apa maksud perkataanmu itu?”
“Persis seperti apa yang ku katakan. Kau harus kembali ke duniamu. Aku harus menyelesaikan cerita seperti yang seharusnya. Jika kau ingin tahu kejadian yang terjadi tadi, sebenarnya Alfin tidak bisa mengemudi saat hujan, tapi si brengsek itu malah memukuliku saat hujan deras, dia bahkan membawaku ke rumah sakit. Kau harus tahu Lea, Alfin, tidak jauh berbeda dengan Alfin yang kau kenal di duniamu. Dia hanya menggunakan perbuatan konyolnya untuk menutupi jati dirinya. Kau harusnya lebih mengenalnya daripada aku.” Devan segera pergi meninggalkan rumah sakit, Lea beusaha menghentikan Dean, tapi usahanya gagal, dengan cepat Devan menyetop sebuah taksi, meninggalkan Lea yang berdiri mematung disana.
***
Lea membuka pintu rumah Devan dengan perasaan cemas. Ia berusaha mencari keberadaan Alfin. Nihil. Lea bahkan tidak berhasil menemukan Alfin di kamarnya. Ia segera naik ke lantai dua dan benar saja, Alfin ada di dalam sana. Kondisi Alfin tak kalah berantakan. Dari sana, Lea bisa melihat Alfin benar-benar kesakitan. Pakaian basahnya berserakan di lantai, begitu juga dengan kotak obat yang berserakan di tepi ranjang, menunjukkan bahwa Alfin sedang berusaha keras meminum obatnya.
“Jangan mendekat! Aku memecahkan gelasnya tadi, kakimu bisa terluka,” ucap Alfin dengan suara lemahnya saat Lea baru sampai beberapa langkah di depan kamar.
Bodoh! Jika saja aku tahu bagaimana perasaannya saat itu, aku pasti akan memeluknya lebih lama, mengusap punggungnya lembut dan berkata ‘Terima kasih telah mencintaiku, Alfin.’ Seharusnya aku sadar arti perhatiannya padaku itu juga bagian dari cinta. Tidak seperti waktu Alfin yang berhenti di sana, waktunya terus berjalan tanpa henti, membuat rasa sakitnya bertambah besar. Seharusnya aku sadar, bukan hanya Devan yang terluka, tapi dia, lelaki yang kupikir hanya bisa melakukan hal konyol sepanjang hidupnya, lelaki itu juga terluka. Lea bukan hanya bagian dari hidup Devan, tapi Lea juga salah satu bagian dari hidup Alfin.
“Kurasa hanya kau saja di dunia ini yang masih bisa memikirkan kaki orang lain saat kau sendiri sedang sekarat. Jika kau tidak mau aku masuk kemari seharusnya minum obatmu dengan benar, jangan hanya membuat orang lain khawatir seperti ini.” Lea masuk ke kamar dan mulai membersihkan benda-benda yang berserakan di lantai.
“Jika kau di sini, siapa yang menjaga Devan di rumah sakit?”
“Simpan saja tenagamu, bagaimana bisa kau jatuh sakit setelah membuat Devan babak belur seperti itu? Jika kau sangat khawatir padanya, seharusnya tidak usah memukul sekeras itu. Asal kau tahu saja, Devan juga sangat khawatir padamu, makanya dia menyuruhku pulang dan merawatmu.”
“Dasar brengsek,” ucap Alfin samar, umpatannya hampir tidak terdengar.
“Ucapkan saja terima kasih, tidak perlu mengumpat seperti itu.” Lea membawa nampan besar berisi baskom berisi air dingin dan handuk di tangannya. Lea juga menyiapkan bubur yang dibelinya saat perjalanan pulang ke rumah.