Sejak pertama kali bertemu
Takdir tak pernah mengizinkan kita bersatu
Tapi aku terlanjur mencintaimu
Kau terlanjur mencintaiku
Aku seharusnya tahu
Kita hanya bisa saling mencintai
Bukan memiliki.
—Devan
Waktu kembali terhenti. Lea berlari menyusuri lorong gelap itu. Seketika perasaan sesak bergejolak memenuhi rongga dadannya. Perjalanan Lea menembus ruang dan waktu telah menyentuh ujungnya. Suara tangisan semakin keras terdengar. Lea membuka pintu penghalang di hadapannya. Lalu menatap nanar sosok itu.
"Sampai kapan aku harus merindukanmu, Lea. Ini terlalu menyakitkan." Lea melihat Devan meremas dadanya. Tanpa pikir panjang, ia langsung merengkuhnya. Memeluk setiap senti luka yang Devan miliki. Lea mengusap wajahnya pelan. Kedua bola mata mereka saling bertautan. Menyalurkan berbagai macam rindu dan rasa sakit.
"Aku tahu, mungkin ini terdengar gila bagimu. Tapi entah mengapa aku juga merasa kesakitan saat melihatmu seperti ini. Izinkan aku menebus ruang dan waktu, melupakan kenyataan bahwa kita berasal dari dunia yang berbeda. Izinkan aku menjadi Lea-mu kembali, Devan."
Devan terisak dipelukkan Lea. Membiarkan gadis itu melihat sisi rapuhnya seutuhnya. Lea mengusap punggung Devan lembut sambil berbisik “Tidak apa-apa, aku disini sekarang. Semuanya akan baik baik saja.”
Setelah Devan tenang mereka tidak mengobrol banyak mengenai apa yang terjadi, hari ini adalah hari yang melelahkan bagi keduanya. Devan dan Lea memaksakan diri untuk tidur, berharap bisa melupakan semua masalah yang melekat dikehidupan mereka.
***
Lupakan soal rencana balas dendam Lea pada Devan. Marah, memaki, ataupun rencananya untuk menampar Devan gagal sebelum Lea berhasil melakukan salah satunya. Devan justru lebih dulu menghukum Lea karena ‘insiden pemberontakan’ yang Lea buat, Devan menyuruh Lea duduk dengan tegap dan kaki dilipat kebelakang serta keduatangan diangkat keatas sambil mengepal seperti layaknya siswi yang dihukum oleh gurunya. Entah mengapa Lea sama sekali tidak berani membantah perkataan Devan. Sia-sia saja Lea hal-hal romantis yang Lea bayangkan semalam, paginya justru diawali dengan hal yang sangat buruk.
“Seharusnya aku yang memarahimu karena melarangku melakukan hal yang kuinginkan, aku kembali kesini bukan untuk mendapat hukuman darimu.” Lea mencoba menurunkan tangannya perlahan saat Devan berpaling, kaki gadis itu juga mulai kesemutan.
“Naikkan tanganmu lagi atau aku akan menambah hukumanmu, Lea. Kau itu memang pantas untuk dihukum, kau harusnya tahu berapa lama aku dimarahi oleh atasan atau berapa banyak komentar negatif yang muncul karena perbuatanmu itu.” Devan mendengus kesal, ia masih ingat bagaimana reputasinya yang hampir rusak karena perbuatan Lea itu, belum lagi ancaman Alfin yang membuatnya tertekan setiap hari.
“Maaf,” kata itu tiba-tiba terucap dari mulut Lea. Raut mukanya berubah menjadi sedih seketika. “Aku bahkan tidak tahu kau mendapat kesualitan sebanyak itu karena pemikiranku yang kekanak-kanakan dan egois. Kau bahkan kehilangan sahabat terbaikmu karena diriku.” Lea menundukkan kepalanya.
Devan mengulas senyumnya, menghampiri Lea dan membantu gadis itu berdiri. “Aku juga minta maaf karena memberimu rasa bersalah yang terlalu besar, alasanku menghukummu sebenarnya bukan untuk itu, aku hanya ingin kau tidak mengulangi perbuatanmu lagi. Soal Alfin, itu sama sekali bukan salahmu, Lea.”
Rasa bersalah Lea tentu tidak bisa luntur dalam sekejap, bola matanya mengedarkan pandangan ke seluruh isi rumah. Kepergian Alfin benar-benar membuat rumah besar milik Devan terasa kosong. Devan pasti kesepian karena kehilangan sahabat dan juga koki terbaik dalam hidupnya.
Lea dan Devan yang sekarang duduk berhadapan itu diam untuk beberapa saat, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing, hingga Devan memulai pembicaraan “Kau tahu? Semalam aku hampir tidak tidur karena terus memeriksamu dilantai dua. Aku takut kalau kau tiba-tiba menghilang atau bisa saja Lea yang kulihat hanya bagian dari halusinasi.” Devan tersenyum tipis mengingat lagi kebodohannya semalam. “Aku tidak akan menyangkal bahwa aku mencintaimu, Lea dan aku juga tidak bisa melarangmu untuk jatuh cinta kepada siapapun, itu hak mu tapi sekali lagi kumohon padamu, saat kau kembali ke dunia webtoon nanti, lalukan peranmu dengan baik, saat kau disana jangan pikirkan tentang keberadaanku.”
“Bukannya aku tidak berusaha, Va. Tapi pikiranku terus tertuju padamu. Aku selalu ingin tahu apa yang sedang kau lalukan, khawatir padamu, merindukanmu. Selama aku disana yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara agar aku bisa kembali keduniamu.”
Devan menghela napas panjang, “Selama ini kau pasti bertanya-tanya mengapa harus Alfin yang menjadi tokoh utama padahal jelas-jelas aku juga mencintai ‘Lea’. Aku yakin Alfin pasti sudah memberitahumu tentang bagaimana ‘Lea’ meninggal karena aku. Sebenarnya aku tidak tahu harus bercerita dari mana tapi satu yang harus kau tahu, aku berhutang banyak pada Alfin. Alasanku membuat webtoon itu adalah untuk mengurangi sedikit rasa bersalah yang selama ini menghantui hidupku. Aku terus memikirkan skenario seandainya ‘Lea’ tidak memutuskan untuk ikut denganku ke Okinawa, mungkin saja semua kemalangan itu tidak akan terjadi, jika ‘Lea’ tetap memilih Alfin sejak awal mungkin saja hidupnya tidak akan berakhir secepat ini.” Devan menceritakan lebih jauh tentang masa lalunya kepada Lea.
Juli 2016
Devan menyeret kotak besar yang ada dibawah ranjang, ia membersihkan debu tebal yang melekat diatasnya dengan cekatan. Devan mengambil salah satu album foto berukuran besar yang berisi foto-fotonya bersama Lea dan Alfin. Devan mulai menggambar pola wajah Lea, menambahkan detailnya satu persatu mulai dari mata, hidung, mulut serta garis wajahnya secara jelas.
Alfin yang datang kerumah Devan sore itu terkejut melihat kamar devan penuh robekkan kertas dari buku sketsanya. Itu pertama kalinya Alfin melihat Devan melakukan sesuatu selain menjalani hidupnya seperti mayat hidup selama 6 tahun sejak kepergian Lea. Devan mengalami depresi berat sehingga kesehatan mentalnya terganggu. Alfin tidak tega mengurung Devan di rumah sakit jiwa saat itu jadi ia memutuskan untuk merawat Devan. Alfin biasa datang untuk memberikan makanan tapi hari itu Alfin melihat Devan sedang duduk dilantai dan meraut pensilnya yang sudah tumpul. Penampilan Devan juga berubah menjadi lebih baik.
Saat itu Alfin langsung memeluk sahabatnya dan menangis keras. Alfin merasa bersyukur karena Devan sudah mulai sembuh. Devan hanya bisa menunggu sampai Alfin benar-benar melepaskan pelukkannya dan tenang.
“Semua ini tidak terjadi secara tiba-tiba, Aku sebenarnya sudah sembuh setelah dua tahun menjalani perawatan. Aku hanya meilih untuk pura-pura gila agar kau tidak akan menyuruhku melupakan Lea dan menjalani hidup seperti orang normal. Aku merasa tidak pantas melakukan itu setelah apa yang terjadi pada Lea, tapi belakangan ini aku terus memikirkan skenario seandainya Lea tidak pergi kemanapun hari itu dan tetap bersamamu saat itu mungkin saja Lea masih ada bersama kita sekarang.”Pandangan Devan menerawang keluar, mungkin ia masih belum terbiasa melakukan kontak mata dengan orang lain.
“Maaf jika aku pernah membencimu dan menyalahkanmu atas kematian Lea. Tapi kau pasti tahu kalau maut bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih, itu semua sungguh diluar kendalimu.”
Devan tampak tidak mendengarkan perkataan Alfin “Aku ingin menggambar kisah kita bertiga lagi, bedanya Lea tidak akan ikut ke Okinawa denganku. Lea akan memilihmu dan menghabiskan masa-masa indahnya bersamamu. Aku ingin menggambar Lea, Fin.” Ucap Devan tergesa-gesa menyampaikan keinginannya pada Alfin.
Butuh waktu beberapa saat bagi Alfin untuk benar-benar mengerti apa maksud ucapan Devan sepenuhnya, mustahil bagi Alfin untuk menolak keinginan sahabatnya itu. Jika itu yang diinginkan Devan maka Alfin hanya berharap bahwa rasa bersalah yang terlanjur mendarah daging dalam diri Devan. “Lakukan apapun yang kau mau, aku akan membantumu tapi kau harus berjanji padaku untuk menjalani konseling dan hidup normal seperti dulu lagi.”
Devan awalnya ragu menyetujui pemintaan Alfin tapi kemudian diingatnya lagi bagaimana Alfin memeluknya tadi. Devan sungguh tidak tahu kalau kegilaannya juga menjadi borok dalam hidup Alfin. Devan pikir sahabatnya itu masih menyimpan benci yang begitu besar terhadapnya.
Sepulangnya dari rumah Devan, Alfin langsung pergi menemui Bu Andien, ia berharap Bu Andien bisa membantunya mewujudkan keinginan Devan. Sesua dugaan Alfin, Bu Andien menolak permintaannya mentah-mentah. Ide untuk mengangkat kisah mereka bertiga pasti hanya akan membawa masalah dimasa depan.
“Semuanya tidak semudah yang kalian pikirkan, lantas apa yang akan Devan lakukan? Mengikutkan webtoon buatannya itu di sebuah kontes? Atau mengunggahnya secara cuma-cuma disebuah situs dan tidak mendapat apresiasi banyak orang? Jika kau ingin Devan berhasil maka minta dia memulai dari bawah dan buat namanya dikenal banyak orang.”