Endless Origami

dedanel
Chapter #17

17 - Masih Merekat

"Semua orang pasti sadar jika sedang berbohong. Dan kesadaran untuk jujur selalu kalah dengan alibi kebohongan tersebut." [Endless Origami]

***

Senyumnya sudah mulai mekar. Wajahnya yang pucat dan datar perlahan berubah cerah. Kakinya berjalan dengan riang, dan bisikan-bisikan seperti bisikan setan yang jelas terdengar itu tidak lagi mengganggu pendengaran.

Nada Alishba yang manis, ia sengaja keluar cepat saat jam istirahat kali ini. Ia juga sengaja menolak untuk makan bersama teman-temannya karena ada sesuatu yang ingin ia kerjakan. Tidak seperti sebelumnya, hari ini teman-temannya tidak terlalu mengkhawatirkan gadis itu sebab ia terlihat jauh lebih riang dari yang biasanya.

"Awas. Ayo masuk! Ada pembunuh lewat!" Ucapan yang terdengar sangat jelas itu berhasil menghentikan langkahnya. Ia menoleh sejenak pada cewek yang berbicara tadi. Ia bisa melihat bagaimana ekspresi cewek itu yang sok ketakutan padahal lebih tepatnya sedang menyindir.

Tatapannya tidak datar maupun tajam, namun Nada memberikan wajahnya yang sedikit cerah dengan lengkungan senyum yang menghiasi rupa ayunya. Sontak saja hal itu membuat mereka terkejut. Tidak biasanya. Merekapun membualatkan matanya dan menutup kedua mulutnya.

"Gue nggak bakal mati besok, kan?" tanya mereka masing-masing dengan berbisik. Lalu mereka kabur begitu saja dari hadapan Nada.

Tidak mau mengurusi mereka lagi, Nada tidak mau moodnya hari ini berubah. Cepat-cepat gadis itu kembali melangkah menemui seseorang yang memang sejak dari kemarin ingin ia temui.

Ia mengamati setiap orang yang keluar dan masuk dari ruang kelas yang bertuliskan kelas 11 IPS 1. Di sana, masih sama seperti sebelumnya. Banyak siswa yang memperhatikannya. Alih-alih menyapa atau menegur, mereka semua sama saja. Membicarakan Nada dengan isu yang sama, pembunuh. Tapi tetap saja, Nada sedang tidak ingin mendengar ocehan tidak penting seperti itu.

"Yudha!"

Nada mngikuti langkah pemuda yang baru saja keluar dari kelas.

"Yudha, gue mau ngomong sama lo," ucapnya dengan sedikit pelan. Ia antara yakin atau tidak yakin ingin berbicara dengan orang yang dulu pernah bermain bersamanya, dan selama enam bulan terakhir ini terlihat sangat membencinya.

Yudha menghentikan langkahnya. Tatapan cowok itu masih lurus ke depan. Dengan dagu dan alis yang tegas, ia sama sekali tidak mau memandang Nada, dan ia juga tidak menjawab ucapan Nada ataupun berteriak di hadapannya seperti biasanya.

Nada melangkah lebih dekat ke samping Yudha. Kini posisinya sama seperti Yudha. Berdampingan, dan menatap ke arah lapangan. "Gue seneng banget kemarin lo mau datang ke rumah gue." Ia tersenyum lebar. "Walauapun awalnya gue kaget, tapi gue seneng. Akhirnya setelah sekian lama -" ucapan Nada terhenti begitu Yudha pergi begitu saja.

Nada menggigit bibir bawahnya. Pandangannya sekarang hanya bisa menatap punggung cowok itu yang semakin menjauh.

Ia tidak merasa kecewa saat Yudha pergi begitu saja. Ia sadar, jika Yudha belum seratus persen kembali menjadi Yudha yang dulu. Namun Nada yakin jika perlahan Yudha akan kembali menjadi Yudha yang dulu. Yudha yang sangat ramah dan hangat.

Nada hanya perlu menunggu sedikit lebih lama.

Sedikit saja.

***

"Assalamualaikum." Nada masuk ke dalam rumah yang kebetulan pintu depannya terbuka. Rupanya di sana ada Irma dan Dana yang sepertinya sedang asyik mengobrol di atas sofa.

"Waalaikumussalam," ucap mereka berdua.

Nada melangkah menuju Irma, mencium tangannya, dan duduk di samping Mamanya.

"Salim juga sama abang, Dek," ucap Dana yang terlihat berantakan. Ia ingin adik perempuannya itu mencium tangannya seperti yang dilakukan Nada pada Irma atau Sumandra.

"Sok tua lo, Bang." Nada terkekeh lalu menyandarkan kepalanya di bahu Irma.

"Nada, ganti baju dulu. Trus makan, Mama sama Bang Dana tadi udah nyiapain masakan." Ucapan lembut terdengar dari mulut Irma. Masih terdengar sedikit lemah, maklum saja karena Irma masih belum sepenuhnya pulih.

Nada memasang wajah terkejut. "Bang Dana? Masak? Rasa micin pasti."

"Kurang ajar lo lama-lama sama orang tua," oceh Dana cemberut. Jika tingkahnya seperti ini, Dana terlihat seumuran dengan Nada. Padahal mereka terpaut usia tiga tahun.

Nada kembali terkekeh, "Orang tua? Akhirnya Bang Dana sadar kalo udah tua." Tawanya kini lepas.

"Alhamdulillah, dong. Nanti Dana bisa lebih telaten ngerawat, ngelindungin, dan ngebimbing kamu."

Dana memasang wajah sombong.

"Mama, Bang Dana aja takut sama kecoa. Gimana mau ngelindungin Nada?" Nada bicara Nada dibuat sesedih mungkin, namun ia juga menahan tawanya. "Hahaha," ia sudah tidak sanggup menahan tawanya. Tawanya lepas begitu saja.

Lihat selengkapnya