"Bang Dandi, kaget gue!" seru Nada terkejut saat dirinya membuka pintu. Pasalnya, di balik pintu juga ada Dandi yang bersiap-siap ingin membuka pintu. Mereka sama-sama terkejut.
"Gue lebih kaget, Nad!"
Lalu mereka saling tertawa.
Memang sejak siang tadi Dandi mengunjungi rumah keluarga Nada. Bukan hanya sekadar mengunjungi, tetapi Dandi datang dengan maksud mengerjakan tugas mata kuliah statistika tempo hari bersama Dana. Selain itu, Dandi juga bermaksud menjenguk Irma yang kabarnya sempat di rawat di rumah sakit.
"Ngerjain tugas, Bang? Bang Dana dimana?" tanya Nada begitu masuk ke dalam rumah. Dandi yang tadi hampir pulang, kini malah ikut-ikutan Nada duduk di sofa.
"Iya, nih. Gue nggak habis pikir. Kita baru aja semester tiga, tapi udah disuruh penelitian. Kan kalo gini orang-orang nyangkanya kita udah semester tua. Berasa tua."
Nada terkekeh sebentar mendengar curhatan dari sahabat kakaknya itu. "Untung tingkah lo masih kaya bocah, Bang." Ia kembali terkekeh.
"Untung muka gue juga masih kaya ABG." Dandi menaik-turunkan kedua alisnya sambil bercermin lewat ponsel.
"Tapi kebanyakan ngeluh, kaya orang tua."
"Semakin hari, mengeluh itu semakin nikmat," ucap Dandi dengan penuh percaya diri. Bahkan dirinya tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan.
"Dasar lo, Bang. Kenapa ya, akhir-akhir ini hal yang kurang baik justru dianggap wajar dan bahkan dijadiin kebiasaan."
"Kaya gue gini. Yang bangga dan suka ngeluh." Dandi terkekeh merasa tersindir dengan ucapan Nada barusan. "Benar begitu Ibu guru Nada yang cantik?"
Tawa Nada seketika lepas. Selalu saja sahabat kakaknya itu bersikap lucu dan menyenangkan, ya walaupun bagi Dana terkadang sikap konyol sahabatannya itu adalah sesuatu yang sangat menyebalkan.
Nada hampir saja tersedak karena terlalu lepas tertawa.
"Woy, kalo ketawa yang kalem, dong!" ledek Dandi. Ia bersiap-siap berdiri dan pulang. Hampir saja ia lupa bahwa tujuannya beberapa menit yang lalu adalah pulang. Namun karena bertemu Nada, ia jadi mampir lagi duduk di sofa.
Dandi memang bukan orang asing dalam hidup Nada. Beberapa kali dirinya sempat bertemu dengannya, apalagi saat mereka masih menjadi mahasiswa baru dan dalam masa pengenalan kampus. Dandi sering sekali datang ke rumah untuk mengerjakan tugas-tugas yang didapat dari kakak-kakak senior bersama Dana dan mendiang Dimas, atau hanya sekadar main.
Jadi Dandi cukup paham dengan kondisi Nada. Nada yang hari ini ia temui, sama dengan Nada yang pertama kali ia temui. Ceria, wajahnya berseri hingga jauh terlihat sangat cantik. Berbeda dengan beberapa kali terakhir mereka bertemu, lebih tepatnya setelah kematian Dimas, Nada sangat jarang menampilkan tawanya yang ceria itu.
"Oiya, gue kan mau balik. Kenapa malah masih ngobrol sama elo, sih?"
"Nyalahin gue lo, Bang?"
Dandi terkekeh. Dalam hati sebenarnya ia ingin lebih banyak mengobrol dengan Nada, mumpung dirinya sedang terlihat ceria. Namun apalah daya, ibunya sudah menelfon beberapa kali karena ada pesanan kue pelanggan yang ia bawa namun belum ia antarkan.
"Udah, gue mau pulang. Udah ditungguin seseorang," ucap Dandi sekali lagi.
"Lo pasti pas kesini sambil bawa pesenan kue pelanggan nyokap lo, tapi belum lo anterin, kan?" Nada menebak-nebak.
"Tau banget, elah. Gue balik dulu." Dandi berbalik menuju pintu. "Salamin sama Abang lo. Dia harusnya nganter tamu sampai keluar, eh malah dianya ke wc."
"Siap!"
Dandi lalu membuka pintu. Sekali lagi hal yang sama kembali terulang. "Anjir! Kaget gue!" ucapnya spontan saat wajah seseorang muncul di balik pintu dan membuatnya kaget.
"Kenapa, Bang?" Nada yang penasaran lalu berdiri dan melihat apa yang terjadi. "Yudha?"
Benar. Seseorang yang berdiri di depan pintu tersebut adalah Yudha. Dan sekarang, bukan hanya Dandi yang terkejut melihat Yudha, tetapi Nadapun sama.
"Lo Yudha yang dulu kayaknya sering main bareng Nada sama temen-temennya? Apa kabar bro!" Dandi lalu bersalaman ala anak laki-laki kepada Yudha dengan ramah.
"Baik, Bang. Lo sendiri?" tanya balik Yudha. Ia juga bersikap ramah pada Dandi. Sepertinya, memang hanya pada Nada saja Yudha tidak bersikap ramah.