"Sekali buruk, apakah selamanya akan buruk?"
***
Matahari sudah tinggi. Bahkan hari ini hampir saatnya untuk jam makan siang. Tetapi pemuda itu masih betah meringkuk di dalam kamarnya, dengan jendela yang masih tertutup rapat dan juga tirai yang masih menghalangi sinar untuk masuk.
Dana meringkuk di atas ranjang, lengkap dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Matanya terpejam, dahinya berkerut, dan kedua tangannya mengepal.
Pikiran Dana sedang tidak karuan. Kemarin saat ia meninggalkan rumah sakit dan langsung kembali ke rumah, ia baru menyadari bahwa kamar tidurnya benar-benar sangat rapi. Tirai dan seprai baru terpasang di sana. Tidak ada barang berserakan di lantai, di atas meja, maupun di dalam lemari. Semuanya rapi. Dan saat ia beralih ke studio musik, di sana juga sangat rapi. Kabel-kabel yang berserakan, gitar, bass, stik drum, semuanya tertata rapi di tempatnya. Sebutir debupun tidak ada yang menempel. Sungguh sangat bersih dan rapih.
Dana sendiri sangat paham jika mamanya itu adalah seorang yang sangat mencintai kebersihan. Tidak heran jika Irma sangat suka berberes. Namun, yang paling Dana sesali adalah saat ia tidak menyadari bahwa dua ruangan yang selalu ia gunakan itu sangatlah tidak rapi. Jika saja Dana menyadari akan hal itu, pasti Irma tidak perlu repot-repot membereskan kamarnya berserta studio musik yang akhirnya membut kondisi Irma kembali drop.
Dret dret dret ...
Ponsel Dana bergetar. Sudah sekitar satu jam yang lalu ponsel itu tidak berhenti untuk bergetar. Alih-alih mengangkat telpon, bergerak satu senti saja enggan dilakukannya. Pemuda itu hanya bisa diam, merutuki betapa bodoh dirinya itu.
Selanjutnya, terdengar suara pintu kamarnya yang dibanting. Lalu suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya, cukup kencang dan gaduh.
Sumandra. Ia baru saja pulang dari rumah sakit sejak kemarin dan langsung menuju kamar Dana.
"Bangun!" Ia berteriak sambil menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Dana. Di sana, Dana sama sekali tidak bergerak, masih dengan posisi yang sama.
Melihat anak laki-lakinya tertidur seperti itu, sedikit banyak membuat Sumandra kesal. Ia berkacak pinggang dengan napas yang terengah sambil mengamati kamar putranya yang terlihat sangat rapi.
Ia berpikir, sangat tidak mungkin jika putranya itu yang membereskan kamar ini. Ia sangat paham jika Dana bukan tipikal anak yang suka membereskan kamar hingga serapi ini. Lalu Sumandra berbalik dan pergi dari sana.
Dana masih belum bergerak. Ia masih diam terpejam walau selimut tidak lagi menutupi tubuhnya.
Sepersekian detik kemudian, Sumandra kembali melangkah mendekatinya dengan gaduh. Ia langsung menarik tubuh putranya itu dan membuat Dana langsung tersadar. Dana membuka mata, melihat betapa kemarahan sangat terpancar di wajah seorang pria paruh baya yang ada di depannya itu.
"Kamu ... memang benar kamu suka buat kekacauan!" Ia berkata lirih tepat di depan wajah Dana, sambil menarik kerah kausnya. "KENAPA KAMU TEGA SAMA MAMA KAMU SENDIRI, HAH?!" Ia lalu berteriak dengan segala emosi yang menumpuk seiring ia melihat betapa bersih dan rapinya studio musik.
Diam-diam Dana mengepalkan tangannya. Matanya sudah berani menatap mata Sumandra. "Ayah pikir, Dana suka sama semua ini?" Ia melepaskan cengkeraman di kerah kausnya. "AYAH PIKIR, DANA SUKA LIHAT MAMA MASUK RUMAH SAKIT?"
PLAKKK
Pemuda itu tersungkur di lantai. Pipi kirinya memerah, bahkan sedikit darah mengalir dari ujung bibirnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia mendapatkan tamparan. Untuk pertama kali dalam hidupnya juga, ia merasakan bahwa ia benar-benar pembawa sial.
***
Karel sedang sibuk berkutat dengan kertas persegi warna-warni yang ada di depannya. Sedari tadi setelah Nada dibaringkan di ruang UKS, hanya Karel yang menemaninya selain petugas yang sudah memeriksa kondisi Nada.
Petugas UKS bilang, Nada hanya kecapekan dan banyak hal yang sedang dipikirkan. Hal itu membuat dirinya drop dan akhirnya pingsan, ditambah hari ini Nada yang belum sempat sarapan.
"Padahal kerjaan lu tiap hari cuma bikin origami. Secapek itu kah ngelipet origami?" Karel berbicara pada gadis yang bahkan masih terpejam di sana. Ia memanyunkan bibirnya sebal. "Lain kali, kalau capek, istirahat aja. Nggak usah bikin origami banyak-banyak. Nih, gua udah bikinin banyak origami kupu-kupu buat lu." Ia lalu menata lebih dari sepuluh origami di samping Nada terbaring, hingga ranjangnya penuh dengan origami kupu-kupu berwarna-warni.
"Lhoh, origami gue lo abisin?" Salah seorang petugas UKS yang tidak lain adalah anggota PMR di sekolah ini mengerutkan dahinya saat meliht betapa banyak origami yang dibuat Karel.
"Kenapa Nada nggak sadar-sadar, sih? Udah hampir sejam dia tidur. Enak banget! Gue juga mau tidur!"
"Ye, dikira. Dia lagi pingsan!"