"Jika dirasa perlu bantuan, jangan ragu untuk meminta tolong kepada orang lain."
[Endless Origami]
***
Satu motor gede dan satu motor matic, keduanya sudah terparkir di depan rumah. Sengaja dua anak manusia itu tidak memasukkan motor mereka ke dalam ruang tamu. Sebelum Sumandra menempati rumah ini, sebuah garasi tersaji di ruangan paling depan. Namun setelah Sumandra dan keluarga menempati rumah ini, garasi tersebut sengaja disulap menjadi studio musik yang membuat mereka harus menaruh sepeda motor di ruang tamu, atau kalaupun sedang malas, ditaruh di teraspun akan aman.
Nada berusaha membuka pintu rumah tersebut dengan susah payah. Sedangkan Dana menunggu di belakangnya. Sejak kejadian di jalanan depan kafe tadi, memang keduanya belum lagi berbicara.
Baru saja pintu terbuka, pemuda itu langsung menerobos dan berlalu begitu saja. Wajahnya kusam dan kusut, sedang tidak mau berlama-lama bersama Nada.
"Bang!" pekik Nada begitu Abangnya itu berjalan tanpa memedulikannya. Ia mengikuti dari belakang langkah Dana.
Dana terus berjalan melewati ruang tamu, ruang keluarga, bahkan ia juga melewati kamarnya. Tujuannya kali ini langsung ke dapur. Ia membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air mineral dan meneguknya. Setelah dahaganya hilang, ia mengembalikan sebotol air mineral itu ke dalam kulkas. Ia sedikit mengembuskan napas, mengatur detak jantungnya sambil masih berpegang pada gagang pintu kulkas.
"Bang Dana ...."
Tidak ada niat untuk menjawab panggilan dari Adiknya, untuk sejenak melihat wajah Nadapun rasanya sungguh tidak sanggup baginya. Ia langsung berlalu begitu saja menuju kamarnya, dan meninggalkan Nada dengan wajah dingin penuh khawatir.
Gadis itu masih ada di dapur. Ia memejamkan matanya sambil menggelengkan kepala. Entah kenapa, bayangan Sumandra dan Dana yang sedang bertengkar tiba-tiba saja terputar dalam pikirannya. Nada membayangkan dengan sangat jelas bagaimana Sumandra berteriak di depan Dana, memelototi putranya, hingga tamparan keras membekas di ujung bibir pemuda itu.
Sungguh bayangan yang sangat mengerikan. Selama ini yang Nada tahu, Sumandra tidak pernah bermain tangan saat memarahi Dana. Nada tahu, dituduh sebagai pembunuh dan bertengkar hampir setiap hari rasanya sungguh tidak nyaman, apalagi mendapatkan tamparan dari ayah sendiri, sungguh suatu hal yang sangat menyakitkan.
Blakkk
Suara pintu yang dibanting itu berhasil menyadarkan Nada dari pikiran-pikiran yang mengerikan. Ia langsung berjalan ke arah kamar Dana. Saat ia sampai di sana, pintu kamar Dana sudah tertutup rapat. Berkali-kali ia mengetuk, tidak ada jawaban. Sampai akhirnya suara knalpot motor gede itu terdengar, Nada langsung berlali keluar rumah.
Dana dengan motor gedenya meninggalkan rumah. Tidak lupa dengan ransel yang terlihat berisi menempel di punggungnya. Sangat laju saat motor itu berhasil keluar dari pagar, meninggalkan kebisingan di keheningan malam. Meninggalkan Nada sendirian dengan wajah datar, khawatir, dan ketakutan.
***
"Udah jam tujuh lebih. Kenapa Nada belum dateng? Apa dia telat? Mana Pak Rahmat kalau masuk kelas sering tepat waktu. Dia kemana, sih?" Cowok itu terus saja berbicara dengan bagian belakang kepala Reno. Sudah sejak bel berbunyi, ia tidak berhenti bertanya pertanyaan yang sama.
Karena tidak ada tanggapan, ia mengalihkan pandangannya ke bangku depan. Ia melihat Arasya dan Fanisa seperti sedang sibuk menulis sesuatu. Sampai Karel mengira, saking sibuknya sampai mereka tidak sadar jika sahabatnya belum datang.
"Dasar, seseorang bisa melupakan orang lain hanya karena kesibukan. Tidak sadar, orang lain itu butuh kepedulian!" Ia berbicara dengan sedikit lantang, masih di belakang kepala Reno, menyindir Arasya dan Fanisa.
Reno dibuat bergidik ngeri mendengar perkataan itu. Ia lalu berbalik dan menimpuk kepala Karel dengan pulpen.
"Lo kenapa sih, upil kudanil?"
Sekali lagi, ia menimpuk kepala Karel dengan pulpen. Kali ini cukup keras.
"Anjir! Lo kenapa, sih?"
Reno hanya melengos. Ia kemudian menyumpali kupingnya dengan earphone tanpa memedulikan Karel.
Reno sebenarnya sangat paham jika Karel sedang khawatir karena Nada belum juga datang ke sekolah. Bukannya ia tidak peduli pada Nada, tetapi lebih baik ia simpan kepeduliannya seorang diri daripada berbagi pada Karel, Arasya, dan Fanisa. Jika memang Nada tidak masuk hari ini, bisa mereka bahas nanti siang. Reno sedang tidak mau paginya kacau karena berurusan dengan Karel yang menyebalkan, Fanisa yang lemotnya bikin emosi, dan Arasya yang akhir-akhir ini bersikap sangat menggemaskan. Lalu Refina yang ... juga belum terlihat batang hidungnya.
"Kalian udah ya PR kimia?" tanya Arasya berbalik, bertanya pada dua cowok yang terlihat tidak menyentuh buku sama sekali.
Baik Karel maupun Reno menggelengkan kepala.
"Bukannya jam pertama Pak Rahmat yang masuk, ya?" tanya Reno sangat yakin dan tanpa ragu sedikitpun.