"Terkadang, orang yang banyak bicara sebenarnya adalah orang yang banyak menyimpan rahasia."
[Endless Origami]
***
Dana membuka matanya yang terpapar sinar matahari langsung. Ia mengerutkan alis dan membuka mata perlahan akibat sinar matahari yang sangat silau.
Pemuda itu melihat sekitar. Kemudian sadar seutuhnya. Terkejut sesaat mengetahui dirinya berada di sebuah pemakaman.
Dana duduk. Menatap nisan bertuliskan Pradimas Naufal di hadapannya. Entah kenapa, tujuannya tadi malam saat pergi dari rumah adalah tempat ini.
Hatinya teramat sakit. Mengingat kejadian malam itu.
Dana yang biasanya sering keluyuran malam. Dan Dimas yang tidak ingin Dana kena omelan Sumandra karena pulang larut.
Tetapi malam itu berbeda, Dimas yang memaksa untuk pulang larut karena dirinya yang tiba-tiba sangat ingin belajar bermain musik demi memikat cewek yang disukainya di kampus.
Dimas yang sedari dulu memang tidak pernah tertarik di dunia permusikan dan hanya unggul di bagian akademik memaksa Dana dan Dandi untuk mengajarinya bermusik detik itu juga.
Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi malam itu, di perjalanan pulang, Dimas melajukan motornya akibat khawatir akan Dana terkena omelan Ayahnya. Dan malam itu, Sumandra, Ayah mereka mengira Dimas menjemput Dana pulang, tanpa tahu sebenarya Dimaslah yang mengajak keluar dan pulang larut.
"Dim! Nggak usah ngebut! Santai aja!" seru Dana waktu itu, sambil terkekeh, menertawakan kembarannya yang terlihat girang sehabis belajar bermain gitar walau hanya sebentar.
"Nanti lo kena omel Ayah!" sahut Dimas kemudian, yang beberapa detik kemudian tawa Dimas di malam itu sirna. Pada sebuah tikungan, motornya menabrak sebuah truk yang juga sedang melaju kencang. Dana yang ada di jok belakang terpental ke rerumputan pinggir jalan, sedangkan Dimas yang memegang kemudi, tubuhnya menghantam keras truk di depannya.
Dandi yang mengikuti mereka dari belakang langsung syok dan segera menghubungi ambulance dan Nada.
Baik Dimas maupun Dana sama-sama tidak sadarkan diri, tetapi kondisi Dimas amat parah hingga dia mengalami koma karena kepalanya yang terluka parah.
Dana menggelengkan kepalanya, menepis ingatan yang muncul dalam pikirannya itu. Tidak sanggup mengingat kejadian setelahnya.
"Dim, gue datang nih! Lo nggak kangen apa sama gue? Coba aja waktu itu lo nurut sama gue, pasti sekarang lo masih di sini, dan gue pasti lagi sibuk ngajarin lo main gitar." Dana tertawa sendiri di makam itu, bukan tawa bahagia tentunya, tetapi lebih ke ketawa miris, menyedihkan, bahkan mata pemuda itu perlahan berair.
***
"Pak Rahmat kayaknya nggak jadi masuk deh ini, kita ngobrol aja dulu," ujar Arasya yang sudah menarik bangkunya ke samping Nada.
Nada masih tertunduk, raut wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa pikirannya sedang tidak baik.
"Kalau lu nggak mau cerita nggak usah dipaksain, sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan berakhir baik, kan?" ujar Karel yang tumben bisa berkata benar seperti itu.
Reno memukul kepala Karel dengan buku. "Ye Makarel nggak usah sok cool ya!"
"Heh Bambank! Bilang aja lu nggak mau tersaingi sama gua!" seru Karel lagi yang membalas memukul kepala Reno dengan buku yang lebih tebal.
"Emangnya gue cool?"
"Nggak sih," ujar Karel lalu tertawa.
"STOP! Dua kulit kambing jangan berisik dulu bisa nggak sih?!" teriak Arasya sambil menghela napas melihat kelakuan dua bocah di dekatnya itu.
"Yaudah, Nada, cepet cerita, siapa tahu kita bisa bantu. Tuh liat wajah Fanisa udah serius banget nungguin cerita dari lo!" seru Refina yang sedang asyik dengan ponselnya.
Benar saja, Fanisa sudah duduk manis di hadapan Nada, dengan wajah seriusnya yang bikin orang menggelengkan kepala.
Nada menarik napas dalam-dalam. "Bang Dana kabur, sejak tadi malam, dan nggak bisa dihubungin, temennya juga pada nggak ada yang tahu."
"Serius? Kabur kemana?!" teriakan Fanisa mengejutkan semua yang ada di sana. Ah, hanya ada mereka di bagian belakang kelas, yang lain sibuk masing-masing dan sudah dipastikan tidak tertarik berkumpul dengan Nada di sana.
"Yuyum, namanya aja kabur, ya mana tahu kaburnya ke mana! Kalau tahu nggak mungkin Nada keliatan pusing kayak gini!" Arasya mengelus dadanya perlahan dan memukul kepala Fani dengan pulpen.