"Aku sedang menunggu kabar. Namun, kabar yang datang bukanlah kabar yang aku dambakan."
-Endless Origami-
***
Kaki-kakinya yang lemas ia paksakan untuk terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Di ujung koridor, ia sudah melihat seorang pria berdiri mondar-mandir di depan ruangan bertuliskan ICU. Nada terus berjalan cepat dengan diikuti Karel di belakangnya.
Ya, sore ini saat mereka berdua berada di makam Dimas, Nada dibuat lemas oleh suara Ayahnya yang ia dengar lewat sambungan telepon. Hal itu sontak saja membuat remaja itu buru-buru datang ke rumah sakit ini.
"Ayah, Mama gimana?" tanyanya langsung saat ia sudah sampai di depan ruang ICU.
Sumandra langsung memeluk putrinya itu, berusaha menenangkan walaupun dirinya sendiri tidak bisa merasa tenang. Ia lalu melepaskan pelukan. "Kata dokter, jantung Mama tiba-tiba melemah. Sekarang Mama masih kritis," ucapnya pelan kepada sang putri.
Nada langsung berbalik, ingin membuka pintu ruang ICU dan menemui mamanya, tetapi berhasil di tahan oleh Sumandra. "Nada, percayakan sama dokter, ya. Kamu banyakin doain Mama, sayang." Ia kembali membawa putrinya itu ke dalam pelukan.
Dalam suasana rumah sakit yang cukup dingin dan penuh kesedihan ini, Karel masih berdiri di sana. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan Nada dan juga Ayahnya. Ia paham betul bagaimana khwatirnya jika orang yang disayang sedang dalam masa kritis, masa susah, dan masa dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Karel sempat ingin mengeluarkan air mata. Ia tidak tahan berlama-lama di sana, tetapi jika ia pergi begitu saja rasanya sungguh kurang sopan. Karel masih berdiri di sana, menyaksikan kesedihan, dan berharap segera ada keajaiban untuk Irma melewati masa kritisnya.
"Nada, Abang kamu di mana?" tanya Sumandra saat ia baru menyadari jika Dana tidak ada di sini. "Tadi ayah telepon tapi handphonenya mati. Mau jadi apa dia? Tahu mamanya sedang sakit, harusnya dia ada di sini!" Sumandra mengeraskan suaranya, ia menjadi terlihat begitu emosi.
Nada mengusap air matanya yang tidak terasa sudah membasahi pipi. Ia tidak berani menatap Sumandra untuk memberitahu semuanya.
"Ayah sudah tidak tahu lagi. Dana benar-benar keterlaluan!" Suamandra lalu duduk dan mengatur napasnya. Ia menatap lantai dan menggelengkan kepalanya beberapa kali sangking emosi menghadapi tingkah Dana.
"Bang Dana pergi dari rumah."
Napasnya berhenti sesaat. Ia langsung menatap Nada dengan mata membulat. Ia lalu berdiri dan menatap Nada yang masih menunduk. "Apa? Dana kabur dari rumah?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Sumandra dengan nada cukup kasar. Tidak biasanya ia bertanya sekasar itu pada Nada.
Karel masih diam, masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain hanya menyaksikan hal menyedihkan itu.
Nada mendongak seketika saat mendengar Sumandra terkekeh cukup keras. "Benar-benar anak tidak tahu diuntung!" Ia kembali terkekeh. "Sudah, ayah tidak mau menganggap dia anak ayah!"
"Ayah ...."
Nada tahu betul bagaimana kondisi ayahnya saat ini. Saat istri yang sangat dicintainya sedang dalam masa kritis, dan malah anak laki-laki yang menurutnya penyebab Irma kembali masuk rumah sakit itu justru kabur dari rumah, pasti emosi Sumandra sangat sulit untuk dikontrol. Nada terus menggenggam erat tangan Ayahnya, berusaha membuat Sumandra tenang. Mereka sekarang duduk dan menunggu kabar dari dokter.
"Karel, kamu sudah lama di sini?"
Akhirnya, Sumandra menyadari kehadiran Karel. Ia tidak bisa berbicara banyak terhadap teman Nada itu.
Karel hanya tersenyum, lalu ia ikut duduk berjarak satu kursi di samping Sumandra.
Kini semuanya diam, mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.
Nada masih terus berdoa dalam hati, berharap masa kritis Irma cepat terlewati dan juga kabar dari Dana segera dapat ia dengar.
"Karel, sudah magrib. Apa kamu-" Perkataan Sumandra pada Karel itu terpotong saat seorang dokter keluar dari ruang ICU.
"Keluarga Ibu Irma?" tanyanya langsung pada Sumandra, karena memang hanya mereka yang ada di depan ruang ICU.
Sumandra, Nada, dan Karel langsung berdiri. Tidak sabar mendengar kabar dari dokter.