Sendiri? Sudah biasa bagi gadis bernama Nada Alishba yang sedang duduk di kursi paling pojok belakang. Keberadaannya yang bahkan tidak dianggap itu semakin membuatnya hanyut dalam lipatan origami yang selalu dia bentuk.
Menyedihkan banget ....
Pembunuh mah jangan ditemenin ....
Nggak ada rasa-rasa bersalah sama sekali ya dia ....
Iya! Malah masih bisa main origami!
Ih, gua nggak mau sekelas sama pembunuh itu!
Mumpung baru kenaikan kelas, kira-kira kita bisa minta si pembunuh itu dipindahin aja nggak sih dari sini?
Bisik-bisik yang bahkan nyaring dan terdengar oleh Nada itu sudah sering dilontarkan yang lain. Nada-gadis-pembunuh-yang-suka-main-origami. Begitu kira-kira julukan teman-teman sekelasnya.
Nada mendongakkan kepala. Dengan rambut panjangnya yang tidak ia kucir, lalu tatapan tajamnya yang sangat menusuk setajam silet itu melihat ke arah teman-teman yang sedang berbisik dengan nyaring tadi. Suasana menjadi hening. Nada meremas lipatan origaminya dan membuang ke sembarang tempat, lalu berdiri kemudian berjalan meninggalkan kelas itu, dengan iringan bisikan ejekan lain yang mengantar kepergiannya.
Ih! Dasar psikopat! Origami aja jadi pelampiasan ....
Nada terus berjalan, tatapannya lurus ke depan, dengan mata yang memanas, tidak lupa kedua tangannya yang sama-sama mengepal.
Bruk!
Bukan. Bukan ketabrak cowok ganteng seperti di drama-drama ataupun novel romantis. Tubuh Nada ditubruk dari samping. Jangan ditanya lagi siapa pelakunya. Sinta Naraya, orang yang terlihat sangat benci kepada Nada. "Gimana rasanya, dikucilin satu kelas?" tanya gadis itu dengan senyum miringnya dan langsung berlalu meninggalkan Nada di sana dengan suasana hati yang makin memburuk.
Nada memejamkan mata, mengatur napasnya di koridor antar-kelas itu.
"Kalau tidur jangan berdiri!" Suara berat itu membuat Nada membuka matanya. Kepalanya menoleh ke samping tepat di mana cowok itu berada.
"Lu ngantuk? Pulang aja sana, jangan sekolah!" serunya lagi dengan gamblang, wajah cowok itu terasa asing bagi Nada. Ah, sudah pasti dia siswa baru di sini, kan tidak ada satu-pun orang yang mau mengobrol dengan Nada selama kurang lebih enam bulan ini.
Nada hanya diam menatap cowok itu dengan tatapan tak bersahabat. Lalu mengacuhkannya dan pergi dari sana, tidak menghiraukan cowok tadi yang masih berteriak di belakang.
"Kenalin, nama gua Karel! Bukan Makarel tapi!" teriak cowok itu sambil pringas-pringis dan melambaikan tangan. "Nama lu siapa?" tanyanya lagi, padahal Nada sudah sedikit jauh di sana tanpa berbalik. "YAUDAH KALAU NGGAK MAU JAWAB! TAPI INGAT YA! KAREL!"
Nada menghela napas dan tidak menggubris orang yang berteriak jauh di belakangnya itu.
"Aneh banget! Orang lagi menikmati kekesalan juga," ketus Nada berbicara pada dirinya sendiri.
"Nada, sedang apa di sini? Bell masuk sudah berbunyi kan?!" tegur Pak Rahmat yang keheranan melihat Nada berdiri di taman sekolah.
Nada mengatupkan kedua rahangnya. "Ah, iya, Pak," katanya, seraya langsung meninggalkan Pak Rahmat setelah membungkuk padanya. Bisa-bisa Nada digeret ke ruang Bimbingan Konseling jika tidak lekas menjauh dari sana, mengingat Pak Rahmat adalah orang yang peka terhadap siswa-siswi yang memiliki masalah. Namanya saja guru BK.
***