"Ini bukannya cewek songong itu, ya?"
Semua mata tertuju pada foto itu. Di foto tersebut ada Nada yang tersenyum sangat lebar, cewek songong alias Sinta yang terlihat sangat manis, dan juga seorang cewek lain yang tidak kalah manis saat tersenyum.
Karel menoleh ke belakang, diikuti yang lain. Mereka mencari keberadaan Nada yang ternyata sudah duluan masuk ke dalam. Mungkin cewek itu sedang menyiapkan camilan.
Arasya, dengan insting detektifnya, alias telinganya yang selalu tajam saat mendengar obrolan dari orang-orang, ia menjadi penasaran dengan cewek yang sebelumnya belum pernah ia temui. "Ini bukannya Kania yang meninggal itu, ya?" tanyanya pada siapapun.
Yang sering Arasya dengar, orang-orang menuduh Nada sebagai pembunuh Kania.
Karena rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, semua orang yang ada di sana semakin mengerubungi foto tersebut, kecuali Karel. Cowok itu terlihat ingin menghindari kerumunan itu dan duduk saja di sofa.
"Kok gue rasa, senyum sama dagu cewek ini mirip sama Karel, ya?" ucap Arasya lagi dengan ekspresi seperti seorang detektif yang sedang mencoba memecahkan misteri. Ia berbalik menatap Karel yang sudah sibuk dengan ponselnya di atas sofa dan membandingkan wajah cewek itu dengan wajah Karel. Tidak disangka, yang lainnya pun mengikuti pergerakan Arasya.
Setelah cukup membandingkan wajah Karel dengan cewek yang ada di foto tersebut, Reno terkekeh dan memilih duduk di samping Karel. Menurutnya, cewek itu dan Karel sangat jauh berbeda, cewek itu terlihat cantik dan manis, berbeda dengan Karel yang terlihat awut-awutan menurut Reno.
"Kata orang, kalau mirip berarti jodoh!" celetuk Arasya, tidak seharusnya Arasya berbicara seperti itu karena tidak sinkron dengan ekspresinya yang masih terlihat seperti seorang detektif.
"Kalau jodoh, udah ditinggal meninggal duluan dong sebelum ketemu." Refina menimpali sambil berekspresi sesedih mungkin.
"Nggak bisa ketemu di dunia, tapi bisa jadi ketemu di surga," timpal cewek dengan rambut sebahu yang terlihat sangat teladan. Ia lalu mengembuskan napas dan membanting tubuhnya di sofa karena lelah.
Reno menggeleng, ia seperti ingin mengutarakan pendapatnya. "Emang kalian yakin si Karel bakal masuk surga?"
Seketika, tawa terdengar di ruangan berukuran lebih dari sembilan meter persegi itu. Tawa Arasya dan Refina lah yang paling keras. Fanisa hanya terkekeh dan Reno terlihat tenang sambil mengekspresikan raut wajah bangga karena berhasil meledek seorang Karel. Sedangkan Karel, ia hanya melengos dan kembali fokus pada ponselnya.
"Jangan pernah bercandain Kania."
Ucapan datar nan dingin itu seketika membuat semua orang yang ada di sana menjadi diam. Mereka menatap Nada yang baru saja keluar dengan membawa nampan berisi minuman dan beberapa camilan.
Ekspresi Nada sungguh sangat datar. Ia meletakkan nampan di atas meja. Lalu menatap setiap orang yang ada di sana. "Kalian nggak kenal mereka. Kalian nggak berhak buat jadiin mereka bahan bercandaan. Entah Kania ataupun Sinta," ucapnya lagi. Lalu gadis itu berbalik ingin kembali lagi ke dalam.
Arasya, Refina, Fanisa, Reno, dan Karel masih terdiam mendengar omongan Nada yang seratus persen benar. Saat kita tidak mengenal orang tersebut, tidak ada hak bagi kita untuk menjadikannya bahan bercandaan, ditambah orang tersebut telah tenang di sisi-Nya.
"Ah ...." Nada menghentikan langkahnya. "Kalau kalian rasa udah cukup, kalian bisa pulang. Gue ada keperluan di belakang sebentar." Ia kembali berjalan dengan hati yang bergetar. Pendengarannya panas saat sahabatnya, Kania, dijadikan bahan bercandaan. Rasanya, Nada ingin merobek mulut mereka satu persatu dan meneriakinya supaya tidak pernah lagi menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai bahan bercandaan.
Kadang, hal-hal yang menurut kita lucu, belum tentu lucu juga menurut orang lain. Hati-hati dalam bercanda.
Baru saja air matanya hampir pecah saat dirinya sudah berada di depan tv di ruang keluarga. Mendadak, ponsel yang ada di saku Nada bergetar cukup lama. Sebelum menggeser tombol hijau, ia berusaha menetralkan suara dan jangtungnya yang masih gemetar. "Hmmm."
Nada lalu bergegas keluar, ia melewati teman-temannya yang ada di ruang tamu tanpa berbicara sepatah katapun sampai tubuhnya hilang di balik pintu.
"Lo sih, punya mulut nggak bisa dijaga." Sentak Arasya pada Reno yang membuatnya memekik.
"Kok gue, sih?" Reno tidak mau disalahkan, pasalnya dia sama sekali tidak salah dalam hal ini.
Arasya kembali mencubit lengan Reno. "Kalo lo nggak banyak omong, nggak mungkin kita semua tertawa."