"Nada, kita anter ke rumah sakit, ya?"
Nada menggeleng, masih sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya.
Fanisa yang terlihat khawatir itu duduk di sebelah Nada, di bangku Karel. Cowok itu sudah keluar tepat saat bel pulang sekolah berbunyi, buru-buru.
"Kemarin kita juga udah ketemu nyokap lo, biar enak aja kita sama-sama ke sana," ucap Arasya dengan garis bibir yang turun.
Nada hanya bisa menghela napas saat semua barangnya sudah masuk ke dalam tas. Mendengar kabar Mamanya masuk rumah sakit memang bukan kali pertama terjadi. Namun cewek itu tetap saja merasa takut akan terjadi sesuatu pada wanita kesayangannya itu.
"Kita anter, ya?" Kini Refina yang sama sekali tidak memegang ponsel tersebut terlihat sangat memohon, diikuti anggukan dari Ara dan Fanisa.
Nada tersenyum, sepertinya ia mulai merasa dipedulikan oleh teman-temannya. "Nggak usah, nyokap gue udah beberapa kali masuk rumah sakit, kok." Ia berdiri dan hendak pergi.
"Nanti kabarin kita gimana-gimananya, ya?" Lengan Arasya sengaja menahan Nada. Setelah Nada mengangguk, ia melepasnya.
Nada berjalan cukup cepat, melewati koridor yang masih cukup ramai oleh pada murid.
Seperti biasa, perkataan-perkataan yang membuat telinga Nada memanas mulai terdengar dari mulut tidak bertanggungjawab para siswa yang membicarakannya.
Pembunuh ngapain buru-buru? Telat mau nemuin korban?
Jalan cepet amat, sok sibuk.
Mau ngebunuh siapa lagi, Neng? Buru-buru amat.
Nada tidak bisa memedulikan perkataan-perkataan yang semakin hari semakin keterlaluan. Dirinya hanya bisa fokus pada langkahnya yang cukup cepat. Ia harus segera ke rumah sakit dan mengetahui keadaan Irma, Mamanya.
Nada terus berjalan. Ia memutuskan untuk keluar lewat gerbang samping, karena di jam pulang sekolah seperti ini gerbang utama akan sedikit ramai dan macet oleh kendaraan para siswa dan juga orang tua yang menjeput anak-anaknya.
Sekolah ini sama dengan sekolah pada umumnya. Walaupun termasuk sekolah favorit, tetapi tetap saja ada beberapa siswanya yang berkelakuan minus. Hal yang sangat wajar.
Seperti saat ini, di belakang laboratorium kewirausahaan yang sangat jarang digunakan, beberapa siswa laki-laki membolos dan menyesap rokok. Bahkan terkadang minuman keras sejenis bir beralkohol bisa dengan bebas mereka nikmati di tempat ini.
Nada menambah kecepatannya. Salah satu cara agar ia bisa sampai di gerbang samping adalah ia harus melewati bagian belakang laboratorium kewirausahaan. Sebenarnya, ada jalan lain yaitu dengan melewati kamar-kamar penjaga sekolah, tetapi menurut Nada akan lebih cepat jika ia melewati jalan ini saja.
Bagus, Nada mengembuskan napasnya setelah tahu jika tidak ada siapapun di sana. Barangkali siswa dengan perilaku minus sudah pulang duluan. Nada merasa lega.
Ia kembali berjalan dengan lebih cepat. Ia ingin segera menuju rumah sakit dan tahu bagaimana kondisi Irma.
Baru saja ia melewati bagian belakang laboratorium, kini langkahnya terhenti. Seseorang bersama dengan antek-anteknya berdiri tepat di depan Nada. Wajahnya mereka tampan, tapi ... sangar.
Nada terdiam di sana. Menatap keempat cowok jangkung itu dengan dingin. Tangannya mengepal seakan ingin menonjok keempat cowok itu. Padahal, cowok itu hanya menatap Nada tanpa berbuat apa-apa ataupun menyakiti dirinya.
Ah, tunggu.
Cowok dengan tatapan mata tajam, kerah baju terbuka, dan sepatu berwarna putih. Ia menyunggingkan sebelah senyumnya, menambah kesan sangar dan menakutkan, lalu ia berjalan pelan menuju Nada. Nada hanya bisa mengembuskan napasnya samar dan tangannya semakin mengepal.
Namanya Yudha, Yudha Pratama jika dibaca dari name tagnya.
Yudha tersenyum begitu sampai di depan Nada. Sedangkan Nada, menatap tepat kedua matanya, dingin dan datar.
"Pembunuh, ngapain di sini? Mau lancarin aksi psikopat lo?" ucap Yudha diakhiri kekehan hingga bahunya naik turun.