100 tahun yang lalu
Pada waktu di mana terdapat ruang celah yang sebenarnya mempunyai kesempatan untuk memilah apa dan bagaimana dalam menanggapi masalah. Ketahuilah, peran kita tidak banyak tapi kerap banyak orang terhambat. Atau sengaja memperhambat dengan memilih jalan yang salah, yang di dalamnya tidak diketemukan ujung sesuai akhir ketetapan-Nya. Sehingga akhirnya cerita itu terus bersambung tanpa rampung sampai menemukan ujung yang sebenarnya.
Ini tentang masa lalu yang dijadikan penentu, penyebab utuh cerita ke depannya terjadi, masa sebelum dunia berubah. Tapi ini juga tentang masa depan, akibat dari sebuah kejadian. Keduanya dipadukan dalam satu kesatuan utuh.
Kalimat populer pada masa itu kira-kira berbunyi, “Dia akan kehilangan ingatan pada seseorang yang menyatakan cinta kepadanya.”
Bagaimana? Mungkinkah nyata?
Jadi penyebabnya seperti ini. Jauh sebelum dunia mengglobalisasi, tetap ada kisah kasih, cinta yang dikatakan fana tidak betul adanya. Mari kita lihat pada era hitam lalu.
Akibat terlalu was-was banyak orang berlarian tak tentu arah. Tidak sedikit anak menangis kehilangan orang tua. Suasana ricuh diselimuti ketegangan yang kembali menggetarkan orang-orang. Tidak ada yang baik-baik saja, pemukiman hancur lebur bersama ledakan meriam. Mereka kelam kabut menghadapi senapan demi senapan yang datang pun tanpa pernah tahu detik kapan hidup mereka akan berakhir. Entah itu oleh ledakan meriam, tertembak senapan, atau pun tertusuk pedang. Yang mana semua itu sebenarnya selalu mengganggu pikiran, setiap hari, setiap detik, baik sedang makan, tidur, atau mencari bahan untuk bisa tetap bertahan. Yang tersisa adalah rasa cemas yang tak kunjung lekas. Hidup paling menyengsarakan mana lagi jika dibandingkan demikian. Bagi mereka bisa hidup tanpa kekhawatiran adalah sebuah impian. Tidak ada penjajahan.
Jauh dari tempat kejadian sebelum akhirnya diserang, seseorang menyendiri di sebuah ruangan. Hanya ada obor kecil sebagai penerang. Ditemani pensil arang usam beserta kertas buram. Belum ada bolpoin atau penghapusnya, semuanya masih sangat sederhana. Jika dilihat dia hanya memiliki satu persediaan kertas yang cukup layak untuk dipakai, itu pun hasil pemberian dari seseorang. Yang menginginkannya untuk tidak seperti kebanyakan orang—buta huruf.
Dengan lihai seorang gadis itu menuliskan sesuatu di kertasnya. Tersenyum senang sembari berpikir sebentar lantas tidak lama setelah dirasa mendapat ide dia kembali melanjutkan. Ada seberkas harapan di balik tulisan dan itu terlihat sangat jelas oleh seseorang yang sedari tadi memperhatikan. Yang bukan lain dialah orang yang memberikan kertas dan pensil arang itu kepada gadis berkebaya biru.
“Sejak tidak lagi buta huruf kau jadi senang sekali menulis,” ujar orang itu menampakkan senyum manisnya. Seorang laki-laki muda yang gadis itu kenal dengan sifat lembutnya. Panggil saja dia Adam.
Gadis itu terperangah mendapati Adam tiba-tiba muncul. Segera saja dia berhenti menulis, kikuk menyembunyikan kertas seperti reaksi orang yang sedang tertangkap basah. Sedangkan Adam menampakkan reaksi penasaran.
“Berkat Kakang, Rahma akhirnya bisa baca tulis,” ujarnya menyebut namanya sendiri. Rahma menundukkan kepala tanda malu.
Adam kembali menampakkan senyuman sebagai jawaban terima kasih yang tidak secara langsung Rahma ungkapkan.
“Rahma tidak lagi berbuat sesuatu yang bisa buat Kakang dapat masalah lagi kok,” bela gadis itu. Dia menyembunyikan wajah begitu pula beserta kertas berisi tulisan miliknya. Dengan kata lain merahasiakan sesuatu kepada Adam.
Bagi Adam meskipun membahayakan dirinya sekali pun dia tetap tidak akan pernah bisa marah dan menyalahkan Rahma. Gadis itu sudah seperti adik baginya, yang harus ia jaga bagaimana pun dan apapun risikonya.
Adam mendekat, mengusap pucuk rambut Rahma yang tergelung sempurna ala orang pada masa itu. Adam juga memperhatikan kebaya yang Rahma kenakan. Cukup membuatnya terpana. “Kali ini bukan tulisan mengkritik pemerintah, kan?”
Rahma mengangguk lirih sembari melirik tangan yang Adam gunakan untuk mengelus rambutnya. Muncul rasa aneh dan menggelitik dalam hati Rahma. Menderap kemudian mendebarkan sesuatu dalam hati, perasaan sama yang selalu muncul ketika bersama Adam. Sayangnya ia terlalu malu untuk mengungkapkan.
Beberapa menit berlalu mereka berdua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Adam yang sibuk dengan gambarnya dan Rahma dengan tulisannya. Tapi bukan waktu yang menenangkan bagi Rahma, karena sedari tadi hati gadis itu sedang dirundung cemas. Antara harus jujur atau tetap mengubur. Hatinya dipenuhi sebuah ragu dan itu sangat menyiksa.
"Barangkali perasaan Kang Adam hanya perangai," batin Rahma minder. "Selama ini kita dekat, namun gontai."
Tidak. Sekarang harus ia pastikan. Lama menanti dan berharap sendiri justru semakin menyiksa diri.
“Kang, sebenarnya ada yang Rahma hendak utarakan.” Meskipun ragu, Rahma berhasil memulainya.
Adam mengalihkan perhatian kepada Rahma, tidak lupa memberi senyuman manis yang selalu Rahma terima. “Bicaralah.”
“Rahma punya sesuatu untuk Kakang. Mohon diterima.” Dia menyodorkan secarik kertas berisi tulisan yang baru saja dia buat. Dan yang tadi dia sembunyikan dari Adam.
“Apakah itu?”
“Hati Rahma,” jujurnya. “Rahma harap yang Rahma tulis di sana bukan jadi sekedar tulisan, tapi kenyataan.”
“Apakah Rahma sedang mengungkapkan perasaannya?” pikir Adam
Adam membeku di tempat selepas mendengar pengakuan langsung dari Rahma. Sedangkan gadis itu belum bisa memprediksi respons Adam setelah melirik wajahnya yang datar usai membaca tulisan. Walau begitu Rahma tetap tidak akan berhenti tersenyum, karena dia yakin lelaki itu juga memiliki perasaan sama seperti yang sudah dirasakannya. Bertahun-tahun berlalu harusnya sudah memunculkan perasaan itu. Dengan kebersamaan yang sudah ditempuh melewati peperangan demi peperangan hidup dan mati, kelaparan, pun kecemasan yang entah akan sampai kapan bisa dihentikan. Semua kenangan itu akan senantiasa terpatri dan yang membuat Rahma jatuh hati berkali-kali.
Beberapa kali Adam membaca tulisan milik Rahma. Bola mata ke kanan dan ke kiri. Sekarang matanya menajam, badannya tegang, telinga terngiang-ngiang oleh kalimat terakhir yang Rahma ucapkan.
“Rahma harap yang Rahma tulis di sana bukan jadi sekedar tulisan tapi kenyataan.”
Lagi dan lagi kalimat itu menggema di telinga, memenuhi pikiran, menekan perasaan, seolah ruang dan waktu turut berperan. Jika dilihat tulisan Rahma yang Adam baca seperti ini,