Prinsipnya yang menjadi sahabat tidak akan menjadi lebih dekat
*****
Gelak tawa terdengar riuh di sebuah cafe besar pinggir kota. 3A membuat cafe itu menjadi sebuah ajang pertunjukan cowok tampan. Pasalnya banyak perempuan sampai memuja dan memperhatikan mereka secara terang-terangan. Tawa tadi semakin keras ketika kedatangan seseorang yang disangkutpautkan dengan Bintan, lebih dikatakan seperti ledekan.
“Ehem, ada pasangan baru nih,” celetuk Albi begitu Cheril datang.
Seperti biasa dia tampak cantik dengan dress putih dan rambut digerai sempurna. Rekahan senyumnya, bulu mata lentik, tubuh ramping, dan jalannya yang santai seolah orang-orang sedang menatapnya slow motion. Tidak heran mereka setuju jika Bintan bertunangan dengan Cheril. Si ganteng sama si cantik berpadu sempurna.
Berbeda dengan yang lain, Bintan justru terlihat biasa saja melihat kedatangan Cheril. Karena bagi dirinya Cheril sama seperti perempuan kebanyakan orang, biasa saja. Sejauh ini belum ada yang bisa meluluhkan hati seorang Arga Bintan Rahardian. Benar kata Albi waktu itu, hubungannya dengan Cheril hanya sekadar keterpaksaan saja, tidak lebih. Sedangkan Alfa, hati cowok satu ini menciut begitu semua orang menge-klaim bahwa Cheril adalah tunangan Bintan, sahabatnya sendiri. Rasa yang ia miliki seolah dikalahkan oleh hubungan dadakan antara Bintan dan orang yang ia cintai. Pernah sebelum pertunangan mereka diumumkan, Alfa hendak membicarakannya dengan dua sahabat itu. Namun, Bintan lebih dulu memberitahu soal pertunangan itu. Meskipun wajah Bintan kesal saat itu, tapi bagaimana mungkin dirinya harus menambah kekesalan yang sama. Alfa tidak mau membuat runyam keadaan.
Cheril mendekat ke meja mereka dengan sebuah senyuman, Bintan sibuk dengan kopinya dan Alfa sengaja mengalihkan perhatian ke arah lain. Hanya Albi saja yang membalas senyuman Cheril dengan sebuah ledekan. Yang semula mereka tampak girang sekarang beralih canggung. Untung ada Albi yang memecah suasana.
“Hay, Kakak ipar.” Panggilan itu sudah biasa Albi gunakan. Dia menyapa dengan melambaikan tangan. Dia juga yang paling excited karena kedatangan Cheril. Bahkan ia sudah menyediakan tempat duduk khusus di dekat Bintan. Alfa melirik cemburu.
“Pasangan, duduknya nggak boleh jauh dong,” celetuk Albi menggoda.
Bintan berdecak kesal. “Apaan sih.”
Sebenarnya Cheril pun tidak mengindahkan kelakuan Bintan, gadis itu lebih sering memperhatikan Alfa. Mereka saling suka, tanpa berkata. Hanya lewat sorot mata saja Cheril melihat Alfa seperti sedang patah, sama seperti dirinya. Sama-sama terluka.
Cheril segera menyembunyikan wajah, menyeka air mata sebentar lepas sesudahnya kembali mencairkan suasana. Ia tidak boleh terlihat sedih. Berpura-pura adalah yang terbaik untuk saat ini. Bagi keluarganya, keluarga Bintan, juga Alfa.
“Kalian udah lama di sini?” tanya Cheril menampilkan raut gembira. Ia memaksakan diri untuk baik-baik saja. Bersembunyi di balik senyuman. Bahkan senyuman tadi ketika menuju ke meja itu pun adalah kepura-puraan.
“Alfa yang paling lama. Kasihan dia, tadi gue sama Bintan mampir dulu,” jawab Albi kembali menjadikan Cheril sesak napas karena harus mendengar nama itu. Ia melirik Alfa sekilas, nampak cowok itu tidak menggubris celoteh Albi.
“Siapa suruh bilang nggak datang!” desis Bintan. Cowok itu mendadak berubah pendiam, menyeramkan kalau sudah bad mood seperti ini.
Alfa menyahut, “Gue sengaja sebentar di sana, terus langsung ke sini.”
Cheril mengernyitkan dahi. “Di sana? Di mana?”
“Lo nggak tahu, Ril?” Bukan Alfa yang menjawab, melainkan Albi. “Alfa sekarang itu jadi penjaganya Belva. Nemenin makan, minum obat, nganter kontrol ke rumah sakit. Ya... Gitulah.”
“Belva?” tanya Cheril belum mengerti.
Albi mengangguk setelah meneguk secangkir kopi. “Dia udah sadar dari koma. Tapi malah hilang ingatan. Katanya cuma Alfa yang dia ingat. Jadi mulai sekarang lo nggak usah khawatir tentang hubungan lo sama Bintan.”
Cheril berpikir sejenak seakan semua itu tidak masuk akal. Sama seperti yang lain dia terkejut tentang keadaan Belva. “Sejak kapan dia dan Alfa dekat? Kalau pun hilang ingatan harusnya yang paling dia ingat kan Bintan.”
“Gue nggak tahu soal itu. Tanya aja sendiri sama Alfa,” sahut Albi melirik Alfa yang sedari tadi sibuk sendiri.
Cheril menoleh ke arah Alfa. Tapi cowok itu malah asyik dengan ponsel. Sengaja tidak menimbrung pembicaraan antara Albi dan Cheril meskipun namanya disebut.
“Bisa nggak kalian berhenti bicara soal cewek aneh itu?” Tampaknya Bintan marah. Sejak kedatangan Cheril dia jadi badmood. Bintan bangkit dari tempat duduk kemudian memilih pergi. Muak dengan kejenuhan di sana. Suasana hati pun jelas sedang tidak bagus. Pada saat itu tidak ada yang boleh seorang pun yang mengganggu. Namun tiba-tiba—