ENIGMA: Aku Tak Sendirian

Benny Rhamdani
Chapter #2

#1 Sebuah Janji

"Zia!"

Suara panggilan di belakang Zia membuatnya spontan menghentikan langkah. Jika orang lain, Zia akan terus berjalan seperti biasa.

"Bukumu jatuh di kolong meja. Nih, buku tentang apa sih? Kulihat beberapa hari ini kamu terus baca buku itu?" Renata yang berhasil berada sejajar dengan Zia terus nyerocos seraya menyodorkan buku dengan judul bahasa Inggris.

"Terima kasih." Zia mengambil buku itu dengan cepat. Dia masukkan buku itu ke tas, lalu terus melangkah dengan telapak tangan masuk ke saku sweater.

"Aku duluan ya." Tanpa menunggu Zia menimpali, Renata mempercepat langkahnya ke pintu gerbang sekolah.

Zia merasa lega karena Renata tak terus mengusiknya.

"Oh, jadi kalo mau ngajak ngobrol kamu harus berbuat baik dulu sama kamu dulu ya?" Tiba-tiba hadir sosok cowok jangkung berjalan sejajar di sisi Zia.

Ryad. Sejak cowok itu masuk sekolah ini di kelas 11, Zia tak pernah menyukainya. Padahal Zia sudah merasa senang bisa melalui satu tahun pertamanya di sekolah tanpa berurusan siswa yang usil. Kabarnya, keusilan Ryad itulah yang menyebabkannya tidak naik kelas di sekolah sebelumnya. Dia dibolehkan naik kelas asal mau pindah sekolah. Sialnya, dia pindah ke sekolah ini.

"Boleh pinjam nggak buku Enigma punyamu itu?"

Zia terus berjalan. Dia sebenarnya kaget karena Ryad tahu judul buku yang dibacanya.

"Aku juga bisa kok, baca buku bahasa Inggris. Memangnya cuman kamu yang bisa baca buku bahasa Inggris?"

Pintu gerbang semakin dekat. Zia mempercepat langkahnya. Berdoa agar ojek line yang diordernya sudah sampai di depan pintu gerbang.

"Sebenarnya aku yang nemuin bukumu di kolong meja tadi. Cuman aku nyuruh Renata buat ngasih ke kamu."

"Terima kasih," ucap Zia tanpa berhenti maupun menoleh.

"Sama-sama. Gitu dong, ngomong biarpun dikit. Jangan sampai orang lihat aku kayak orang gila ngomong sendiri."

Zia melewati pintu gerbang. Berusaha melihat plat nomor motor beberapa ojek online yang berjajar di dekatnya.

"Buru-buru amat, sih? Panas, ya? Lagian siapa suruh musim kemarau gini pakai sweater. Koleksi sweatermu banyak juga ya. Kalo nggak salah hitung ada 5. Ya, walaupun warnanya hitam semua, tapi aku tahu perbedaannya."

Zia melihat satu motor yang plat nomornya sama dengan di aplikasi. Dia melambaikan tangan ke arah tukang ojek online di seberang jalan.

"Oh iya, kamu nggak meriksa bukumu dulu? Ada kartu nama yang jatuh nggak? Aku tadi nemu kartu nama juga soalnya." Ryad menunjukkan kartu dengan tangan kirinya.

Zia membelalakkan matanya. Dia berusaha mengambil kartu nama itu. Tapi refleks Ryad lebih cepat. Dia mengangkatnya lebih tinggi. Karena jangkung, Zia tak berhasil menyentuh kartu itu.

"Minta baik-baik dong," ujar Ryad.

Zia menyodorkan telapak tangannya. "Berikan padaku," kata Zia datar.

Bukannya memberikan kartu nama, Ryad malah menyalami telapak kosong tangan Zia. Mereka bersentuha kendati hanya beberapa detik. Zia langsung menarik tangannya.

"Wow, tanganmu dingin banget. Pantes selalu dimasukkan ke saku. Oke, ini kartunya." Ryad menyodorkan kartu nama.

Zia mengambilnya cepat lalu langsung menghampiri pengemudi ojek online yang menghentikan motor di dekatnya.

"Helmnya, Neng?"

"Nggak usah, Pak. Deket ini. Nggak ada polisi juga." Zia naik ke atas boncengan sambil menyibakkan rambutnya yang tergerai melebihi bahu.

Lihat selengkapnya