Minggu pagi biasanya Zia ikut Mami ke Setaman. Lantaran Sabtu Zia sudah sepanjang pagi membantu mengurus taman dan juga ke Setaman, kali ini dia ingin libur menemani Mami di tokonya.
Zia memutuskan mengayuh sepeda menyusuri jalan dari komplek ke komplek. Ciri khas kawasan pinggir kota memang dipenuhi aneka komplek perumahan. Mulai dari komplek kecil hingga besar. Dari yang rumah mungil hingga separuh istana.
Melihat desain arsitektur rumah-rumah yang dilalui jadi keasyikan tersendiri untuk Zia. Apalagi yang memiliki eksterior tertata rapi. Kesenangan inilah yang membuat Zia masuk IPA, dan berharap bisa kuliah di jurusan teknik sipil atau arsitektur.
Tak pernah terbersit sedikit pun di hati Zia mengikuti jejak Bunda yang menjadi polwan atau Ayah yang menjadi jurnalis. Tapi siapa yang tahu masa depan? Yang diharapkan kadang menjauh, sebaliknya yang tak pernah dibayangkan malah menjadi bagian hidup kita.
Seperti biasa Zia bersepeda tetap mengenakan sweater hitamnya. Membuatnya mudah dikenali teman-teman yang tahu benar kebiasaannya.
Termasuk cowok yang berpapasan dengannya sebelum persimpang jalan.
"Zia!"
Karuan Zia melihat wajah di depannya beberapa meter. Zio! Pertemuan yang tak diharapkan Zia.
"Rumahmu sekitar sini?" tanya Zio sambil menghentikan sepedanya begitu hanya berjarak setengah meter di hadapan Zia.
Zia menggeleng. "Aku harus buru-buru pulang." Zia siap kembali mengayuh.
"Hati-hati."
Zia tak menanggapi, langsung mengayuh sepedanya. Dari persimpangan itu dia belok ke kanan. Naas, sebuah motor dipadu dari arah kanannya hendak lurus.
Jalan itu kecil sehingga sulit bagi keduanya untuk menghindar. Ciiiit! Suara decitan terdengar karena pengendara motor mengerem sambil banting stang. Zia hanya mampu memejamkan matanya.
Saat membuka mata, Zia melihat seorang cowok terjatuh dari motor. Untunglah dia mengenakan helm besar.
Ya, Tuhan! Semoga dia nggak apa-apa. Zia menepikan sepedanya dan berlari mendekati cowok yang terjatuh. Beberapa langkah sebelum sampai cowok itu, Zia baru menyadari begitu melihat motornya, dia adalah Ryad.
Zia tak menyukai skenario ini. Dia dipertemukan dua cowok teman sekelasnya di tempat yang jarang dia lewati.
"Tenang, aku tidak apa-apa," Ryad membuka helmnya. Tapi terlihat dia menahan rasa sakit.
"Tetap harus ke dokter. Khawatir ada luka dalam."
Kali ini giliran Ryad yang terkejut karena mendengar suara Zio yang mendekat dari arah belakangnya.
"Heh, kalian sedang berduaan naik sepeda ya? Kok nggak ngajak-ngajak sih? Ciee, baru juga sehari sekelas udah akrab," timpal Ryad sambil berusaha berdiri.
"Syukurlah kalau masih kuat." Zia berbalik meninggalkan Ryad dan Zio.
Zia ingin meninggalkan tempat itu secepatnya sebelum banyak orang datang berkerumun.
"Tunggu! Kamu udah tahu perkembangan kasus Renata?" Ryad membuat langkah kaki Zia tertahan.
"Bagaimana?" Rasa penasaran Zia terangkat.