Enigma

Alisa Risqianita
Chapter #1

1. Pemakaman Mama

"Yang kuat, ya, Ayun!" bisik Nurani.

Air mata Ayunda menetes lagi menyaksikan tubuh ibunya yang mulai tertimbun tanah. Tubuh kaku dan jiwa itu sudah kembali ke pangkuan pencipta. Sudah tak ada lagi sosok yang mengkhawatirkannya karena terlambat pulang kerja. Sudah tidak ada lagi tubuh yang minta ditemani berjemur di halaman belakang setiap pagi. Sudah tidak ada lagi seseorang yang butuh dukungan dan perlindungannya ketika anxiety itu datang menyergap.

Nurani, mantan tetangga Ayun yang sudah pindah rumah, dan Sachi, tetangga sebelah rumah, masing-masing menggenggam satu tangan Ayun, memberikan kekuatan, yang sebentar saja akan pergi. Ayun memang harus berdiri sendiri, menopang diri dan masa depannya yang entah seperti apa bentuknya.

Lubang kubur sudah rapat tertutup tanah. Beberapa pelawat mulai bergantian menabur bunga. Tepat pukul 3 siang, Lebei setempat menutup ceramah singkatnya dengan salam setelah mewakili tuan rumah mengucapkan terima kasih. Para pelawat mulai membubarkan diri untuk menuju ke rumah dan melanjutkan aktivitas masing-masing.

Ayun menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar di batang pohon kamboja. Tubuhnya telalu lemas untuk berdiri tegak. Jongkok pun hanya membuatnya kepalanya pening dan mata berkunang-kunang. Daru, pacar Ayun, berjalan ke arahnya dengan celana kotor karena tadi ikut turun ke lubang kubur membaringkan jenazah ibu Ayun.

Di antara para pelawat yang berjalan menjauh, Ayun melihat Gadhing, adik laki-lakinya, yang bergabung dengan teman-temannya. Mata laki-laki baru gede itu masih merah bekas menangis. Sedangkan Abas, ayahnya memilih untuk tetap di rumah, berjaga siapa tahu masih ada tamu yang datang berbela sungkawa.

Salah satu pelawat mendekat ke arah tempat Ayun berdiri. "Ayun, aku turut berduka cita buat ibumu. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di surga nanti."

"Makasih, Kak," jawab Ayun pelan, memaksakan diri menyunggingkan senyum demi kesopanan pada Leo, bos di tempatnya bekerja. "Makasih juga sudah kasih izin aku untuk ambil waktu istirahat."

"Sama-sama. Aku duluan, Ru," sapa Leo pada Daru.

"Makasih, ya."

"Aku di toko sampe setengah sepuluh malem."

"Oke, aku kabarin nanti," jawab Daru sambil menyalami Leo sebagai tanda terima kasih.

Leo berjalan menjauh setelah mengangguk sopan pada Sachi dan Nurani. Daru dan Leo adalah teman dekat sedari kuliah. Setelah lulus, Leo menjadi wirausaha setelah dimodali orang tuanya. Ia membuka toko pakaian online dan offline. Sedangkan Daru menjadi guru PNS mata pelajaran geografi di kabupaten Pemalang, daerah asalnya.

Sesekali Daru mampir ke toko Leo untuk sekedar menyapa atau mengobrol santai. Dari sanalah pertemuan antara Ayun dan Daru, hingga berlanjut menjadi hubungan yang serius.

Setelah menepuk pelan bahu Ayun, Nurani berjalan menghampiri Damar, suaminya, yang masih berjongkok di dekat pusara. Sachi masih menggenggam tangan Ayun erat. Hubungannya dengan keluarga Sachi adalah yang paling akrab di antara tetangga yang lain. Sejak insiden 2 setengah tahun lalu di hotel, Ayun memang sengaja menjaga jarak dengan para tetangga.

"Kami pamit, Ayun. Yang kuat, ya. Nggak mudah memang, tapi mama Ayun pasti sudah bahagia di alam sana. Ayun harus semangat melanjutkan hidup supaya mama selalu bangga sama Ayun." Nurani memeluk Ayun sebagai perpisahan. Walau pun keluarga Nurani sudah pindah rumah, mereka menyempatkan datang untuk bertakziyah.

Damar ikut menyalami Ayun. "Salam buat pak Abas dan Gadhing, ya. Kami nggak bisa mampir lagi soalnya."

"Aku juga duluan pulang ya, Mbak. Mesti siap-siap kerja juga," Sachi menambahkan.

"Maaf ya Sachi, aku jadi nambah kerjaan kamu karena harus izin kerja."

"Nggak usah minta maaf, Mbak. Traktir aku bakso aja nanti, kalo Mbak Ayun masuk kerja lagi," goda Sachi yang menerbitkan senyum di bibir Ayun.

"Iya, makasih banyak, ya. Hati-hati di jalan," ucap Ayun tulus.

"Mau di sini dulu?" tawar Daru setelah ketiga tamu mereka berlalu. Ia mengusap bahu Ayun. Ia sendiri tidak yakin yang dilakukannya mampu meringankan kesedihan Ayun atau tidak.

Sudah lebih dari 2 tahun Ayun menanggung beban yang tidak mudah. Menjadi penengah di antara 2 kubu di rumahnya bukanlah hal yang remeh. Bukan bersorak bahagia atas meninggalnya calon ibu mertuanya, hanya saja Daru melihat itu sebagai satu kesempatan bagi Ayun untuk beristirahat dan melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Ayunda menggeleng. "Biar mama cepat selesaikan urusannya sama malaikat," jawabnya dengan air mata yang kembali menetes. "Supaya setelah itu mama bisa istirahat panjang. Sekarang giliranku buat mengungkap kenapa mama bisa overdosis." Ia mengusap nisan dengan nama almarhum ibunya.

Endah Listiani binti Zulfikar.

Lahir: 11 Desember 1977

Wafat: 29 Januari 2019

3 langkah mundur Ayun lakukan sebelum ia berbalik badan untuk kembali menyongsong masa depannya.

***

Rumah Ayun mulai sepi dari para pelawat. Yang tersisa adalah sanak saudara yang tinggal di sana untuk mempersiapkan acara doa dan tahlil nanti malam. Mereka sedang menyiapkan oleh-oleh yang akan dibawa pulang oleh para tamu tahlil. Ayun langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa sangat penat. Air dingin diyakininya akan membuat tubuhnya segar kembali.

Lihat selengkapnya