Enigma

Alisa Risqianita
Chapter #2

2. Mogok Sekolah

"Dhing, kamu nggak sekolah lagi?"

Gadhing tidak menjawab. Matanya masih terfokus pada layar ponselnya. Mulutnya terlalu enggan untuk menjawab. Selain tak punya alasan, menjawab pertanyaan sang kakak hanya akan memunculkan pertanyaan selanjutnya.

"Surat izin kamu udah kadaluwarsa, Dhing."

Gadhing hanya menggeser posisi duduknya. Mulutnya masih terkunci rapat.

"Jam 7 kurang 10, Gadhing. Kamu belum mandi, kan? Sarapan juga belum disentuh." Ayun menggoyangkan tubuh adiknya. "Dhing, denger, kan?"

Gadhing berdiri, berjalan ke kamar, lalu menutup pintu. Abas yang baru ke luar dari kamar mandi hanya melirik sekilas pada Ayun yang masih tercengang memandang pintu kamar Gadhing yang bisa dipastikan sudah terkunci dari dalam. Sebentar lagi sang ayah akan bersiap untuk ke kantor.

Ayun bergerak ke meja makan, menyantap makanannya tanpa selera. Biasanya ada mamanya yang menemaninya sarapan. Meski pun memang tak banyak bicara, setidaknya Ayun punya teman makan.

Abas yang sudah rapi menghampiri meja makan untuk menghabiskan kopinya, lalu pergi tanpa pamit. Ayun sudah terbiasa dengan hal ini. Bertegur sapa dengan ayahnya adalah hal yang jarang terjadi. Seperti dua orang yang asing yang tinggal di rumah. Bagi Ayun, asal sang ayah masih mau memberi sebagian gajinya untuk kebutuhan keluarga, itu sudah cukup. Ayun tahu, sebagian itu karena ada kantong lain yang menerima kucuran dana dari ayahnya secara rutin.

Seselesainya menyelesaikan pekerjaan rumah dan berganti pakaian kerja, ia mengetuk pintu Gadhing untuk berpamitan. "Aku berangkat, Dhing. Lauk udah siap di meja. Kunci rumah kalo mau pergi. Aku nggak pulang buat makan siang," seru Ayun dengan suara yang sengaja dikeraskan, siapa tahu adiknya sedang mengenakan head phone untuk bermain game.

Ini hari pertama Ayun kembali bekerja setelah 5 hari beristirahat di rumah, sedangkan bapaknya sudah mulai aktif bekerja sejak 2 hari yang lalu.

Baru jam 10 pagi, namun Ayun sudah keempat kalinya membasuh muka. Matanya merasakan pedas karena lama menatap layar laptop, yang seharusnya itu tidak terjadi karena memang begitulah pekerjaannya selama 3 tahun terakhir.

"Nanti jam 1 ada kiriman datang. Kamu cek, ya. Aku mau ke bank." Leo, pemilik toko berbicara sambil merapikan hasil rekapan penjualan seminggu terakhir.

Leo memiliki toko pakaian online dan offline. Toko offline ada di lantai 1, sedangkan lantai 2 digunakan sebagai kantor toko online. Ayun sendiri memiliki jabatan sebagai admin, kepala admin lebih tepatnya. Tugasnya adalah merekap orderan, memperbaharui stok barang, mengurus keluar masuk kas toko, mengurus iklan di media sosial, dan mengatur pemesanan ke konveksi.

Awal ia bekerja, ia belum sesibuk ini. Dulu tugasnya hanya merespon chatt calon pembeli, mengecek transferan masuk, dan mencetak invoice. Seiring dengan semakin banyaknya pelanggan, Leo merekrut dua admin baru, dan menjadi Ayun sebagai kepala admin dengan tugas berbeda.

Sebenarnya akan lebih praktis kalau tokonya terdaftar dalam market place. Sudah ada sistem, dan admin hanya perlu mencetak invoice setelah pembeli check out dan membayar. Sayangnya Leo paling anti dengan hal tersebut. Ia lebih memilih berjualan secara mandiri, meski kadang beberapa pelanggan keberatan dengan ongkos kirim yang harus ditanggung.

"Iya, Kak."

Leo kembali fokus pada pekerjaannya. Ia sedang menyortir model pakaian baru yang diajukan oleh konveksi. Ada 5 konveksi yang rutin mengirim barang. Sebelumnya, mereka mengirim foto dan deskripsi baju. Dari sini Leo memutuskan model mana saja yang bisa konveksi tersebut kirim ke tokonya. "Sabtu nanti Daru ke sini?"

"Belum tahu, Kak. Sekolah mulai sibuk gelar try out untuk Ujian Nasional. Besar kemungkinan mas Daru sibuk setiap akhir minggu."

"Lamaran kalian, gimana?"

Ayun berhenti mengetik dan menoleh ke arah Leo. "Kak Leo tahu?"

Leo mengangguk. "Nggak perlu ditunda terlalu lama juga, kan? Yang penting jelas dulu status kalian. Soal nikah kan bisa digelar tahun depan."

Ayun kembali menurunkan pandangannya ke arah laptop. "Belum mikir ke sana, Kak. Tanah kuburan mama juga masih basah."

Leo mengangguk. Seperti biasa. Bukan Ayun namanya kalau ia banyak bicara tentang masalah pribadinya.

***

Ayun memarkir motornya. Di halaman rumah sudah ada motor Wulan, adik almarhum mamanya. Untuk menyiapkan keperluan doa dan tahlil, Ayun sangat mengandalkan bantuan dari beliau. Wulan adalah satu-satunya adik dari Endah. Sedangkan keluarga Abas berada di luar kota. Hubungan Ayun dan keluarga bapaknya tidak sebaik sanak famili pada umumnya. Mereka hanya bertegur sapa seperlunya, bahkan saat mereka takziyah pun, keberadaannya persis seperti tamu yang lain saja. Datang, duduk, lalu pamit pulang.

"Bulik beli jajan apa aja?"

"Molen pisang sama pukis. Tadi siang bulik bikin kacang rebus. Nanti ditambah sama jajanan kering di toples."

"Oh, iya udah. Aku mau angkat jemuran terus mandi."

"Jemurannya udah diangkat, Yun."

"Bulik yang angkat?"

Wulan menggeleng. "Bulik dateng, rumahmu udah rapi, kok. Lantenya juga wangi, kayak abis dipel."

Ayun mengenyit tidak percaya. Ia mengetuk kamar Gadhing. "Dhing, kamu angkat jemuran?"

Pintu terbuka. Gadhing yang baru bangun tidur muncul dengan rambut acak-acakan. Ia menguap tanpa menutup mulutnya, menguarkan aroma naga dari mulutnya. Ayun menutup mulut dengan kedua tangannya sebal. "Apaan?"

"Kamu angkat jemuran sama ngepel lante?"

Gadhing menggeleng malas. "Nggak. Jemurannya turun sendiri dari tali terus pada baris rapi ke wadah baju. Tongkat pelnya juga gerak sendiri." Ia berjalan menyenggol Ayun yang masih mencerna kalimatnya, menuju kamar mandi.

Wulan mengikik geli. "Tinggal ngaku aja apa susahnya, sih, Dhing?"

Lihat selengkapnya