Enigmatic Soul

Nanas-imnida
Chapter #3

Bagian 1: Nightmare Side

"Namaku Andin, malam ini aku akan menceritakan pengalaman mistisku yang terjadi selama di sekolah. Aku adalah murid kelas 12. Aku berteman dengan seorang indigo sejak kecil, namanya Hans. Selain Hans, di kelasku juga ada seorang teman yang memiliki aura yang sama dengan Hans, namanya Adisty. Meski tidak begitu dekat dengan Adisty, tapi aku sering mengobrol cukup lama terutama tentang pelajaran produktif." Seorang penyiar radio wanita mengatakan kalimat panjang pertamanya. Suaranya terdengar pelan dan penuh kehati-hatian. Ya, siaran radio kali ini tentang cerita-cerita seram. Setiap malam Jumat pukul 10 malam akan diputarkan siaran radio tentang cerita-cerita seram.

Helaan napas terdengar. Penyiar itu kembali berkata, "Hari itu sore hari di sekolah cukup mencekam, padahal suasana sekolah sedang ramai karena ada acara khusus anak kelas 12. Katanya, acara ini akan berlangsung hingga malam. Aku meninggalkan ruang kelasku untuk pergi ke gedung seberang, aku hendak menemui Hans. Sekolah setelah jam lima sore adalah hal terburuk yang pernah aku ikuti ...." Suaranya terhenti, hanya terdengar musik yang semakin memacu adrenalin dan ketegangan. Suara piano nada datar dengan iringan musik yang menambah ketegangan suasana.

"Sebelum aku menghampiri Hans, aku pergi ke toilet terlebih dahulu." Suara derap langkah kakinya terdengar, bahkan saat penyiar ini memberi narasi aksi ketika ia membuka pintu toilet, suaranya derit pintu juga terdengar. "Aku masuk ke salah satu bilik terdekat dari enam bilik yang ada, aku masuk ke bilik kiri paling dekat dengan area wastafel. Beberapa menit kemudian, aku mendengar pintu terbuka dan ada suara derap langkah yang ikut masuk ke toilet. Sepertinya ada orang lain yang masuk ke dalam toilet ini juga. Toilet ini yang paling aman, sih, dekat dengan gedung yang cukup ramai dan berada dekat dengan lapangan. Aku masih mendengar suara ribut dan keramaian di luar toilet, tetapi begitu suara air mengalir terdengar ... tiba-tiba suara-suara kehidupan senyap." Menjeda ucapannya sambil terdengar suara deru napas dan degup jantung. "Suara air itu mengalir deras cukup lama. Aku sudah selesai, dan bergegas keluar dari dalam bilik. Awalnya, kupikir orang yang menyalakan keran air itu tengah membersihkan diri di sana, tetapi ... saat aku keluar dari dalam bilik ...." DEG!

Suara teriakan dari penyiar itu terdengar mengejutkan. "Aku terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat! Di sana, tidak ada seorang pun ... tetapi, di dalam cermin ada bayangan seseorang yang menundukkan kepalanya. Dia berambut pendek sebahu, wajahnya pucat, darah merembes dari pakaian putihnya, dan dia sekarang menyeringai lebar sambil mengangkat kepalanya secara perlahan ... ke arahku." Suara gelisah dari penyiar itu, dan musik menengangkan terdengar begitu nyaring, kontan membuat suasana malam terasa mencekam. "Dia perlahan berbalik dari cermin seolah dia menghadap ke arahku ... aku ingin berteriak dan bahkan ingin sekali berlari, tapi nggak bisa! Aku mulai menangis dan berusaha untuk memejamkan mataku, berharap jika yang aku lihat barusan hanyalah imajinasiku saja." Suara keheningan mengalihkan narasi.

"Yang kulakukan hanya menangis dan memejamkan mata, lalu membukanya kembali untuk memastikan. Lalu, bayangan dalam cermin itu menghilang ... ah~, leganya, kataku. Namun, kedua bahuku terasa berat seperti ada yang menekannya dengan kuat-kuat ... aku merasa lelah dan tidak sanggup lagi berdiri." Iringan musik mencekam itu terdengar dalam keheningan narasi. "Aku merasa ada yang berdiri di belakangku. Secara tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk bahu kananku dan mencengkeramnya, lalu dia berkata dengan parau, "Tolong ... tolong ... tolong aku, Andin." Dia bahkan menyebutkan namaku! Aku tidak kuasa menahan tangis ketakutan ini lagi. "Jangan!" Tanpa sadar, aku menjawab ucapan parau itu, dan ... disekitarku menjadi gelap ...."

BRAK!

Suara benda jatuh itu menginterupsi, membuatnya terlonjak dari posisi terbaring di atas kasur ternyaman. "Kaget! Kirain apaan." Ia mengatakannya sambil menatap ke sekeliling, mendapati sebuah buku terjatuh dari rak di pojok ruangan membuatnya menghela napas lega. "Lagi tegang-tegangnya dengerin Nightmareside, siapa, nih, yang iseng?" Melontarkan tanya di dalam hati entah kepada siapa.

Lalu, suara cekikikan dan suara parau terdengar tanpa wujudnya. Pemuda itu hanya bisa menghela napas panjang sambil mencopot kabel headset dari daun telinganya. "Cece sama Mang Po, ya?" Mengatakan hal ini untuk memastikan. "Iya, deh, iya! Saya bakalan tidur sekarang. Udah jangan ganggu saya lagi!"

Jika kalian berpikir pemuda itu mengatakannya dengan lantang, maka kalian salah. Sedari kalimat keduanya, dia hanya berbicara di dalam hatinya. Karena yang bersuara tanpa wujud hanya bisa mendengarkan suara hati. Selain itu, mereka lebih mudah diajak berkomunikasi jika dengan cara itu. Buktinya, pemuda itu mendengar dengan jelas balasan dari yang bersuara tanpa wujud itu dalam kepalanya.

"Ulah percanten, Ki. Carita bohong eta mah, hihihi."

"Nu bener mah arurang, nya, Mang Po, hihihi."

Sebenarnya, bukan hanya buku itu saja, sih. Jauh sebelum buku yang jatuh dari raknya ada benda lain yang mereka sentuh, satu di antaranya adalah kenop pintu, dua di antaranya tirai yang seakan tersingkap angin, padahal tidak ada angin malam ini, dan tiga di antaranya adalah mengetuk kaca jendela, sampai suara tawa mereka.

Pemuda itu, mari berkenalan lagi dengannya. Ialah Kiki si paling peka dan bisa melihat yang bersuara tanpa wujud. Kiki tinggal di pedesaan bersama kedua orang tuanya, adik-adiknya, minus kakak tertuanya yang tengah merantau karena pekerjaan di Kota. Kiki sudah lama bisa melihat yang tidak kasat mata, ia bilang, "Mungkin ketika umur saya enam ... atau mungkin saat kematian Enin? Saya nggak terlalu ingat pasti, tapi saya bisa melihat dan bahkan lebih dari sekedar melihat." Begitu katanya.

"Tapi, kata Enin ketika masih ada saya memang mewarisi kemampuan ini dari keluarga. Namun, Enin nggak tau kalau saya memiliki kemampuan lainnya, yaitu bisa melihat masa lalu seseorang hanya dari bersitatap mata. Selain itu, saya bisa membaca pikiran dan mendengar suara hati seseorang. Agak memuakkan memang, tapi bagi orang lain hal ini malah dianggap keren. Apa kerennya coba?" Melanjutkan ucapan sebelumnya dengan nada jengkel, dan jangan lupakan raut wajah datarnya yang tidak bereaksi emosi apa pun.

Lihat selengkapnya