☁✎✉
Bandung, Mei pada semester dua,
"Ki, Aa anter sampe gerbang aja, ya. Soalnya bisi keburu macet jalan ke kantornya."
Pria muda dengan setelan kemeja putih rapi, mengendarai mobil yang ia terima dari perusahaan tempatnya bekerja adalah kakak dari pemuda yang kini duduk di kursi penumpang bagian depan. Atas kerja kerasnya dalam inovasi yang melambungkan nama perusahaan kian naik, ia mendapat promosi jabatan serta 'bonus' dari perusahaan berupa harta benda. Mengantarkan sang adik yang baru saja dipindahkan dari sekolah di kampung halaman ke sekolah cukup bergengsi di kota ini.
Lalu, ada pemuda dengan seragam yang cukup elit melekat pada tubuhnya yang duduk dengan posisi seperti sebuah tanaman layu. Memandangi jalanan dari jendela mobil ini dengan tenangnya. Namun, terdengar suara helaan napas panjang yang meresahkan. Ialah si adik yang berusaha diajak bicara selama perjalanan menuju sekolah. Diketahui, si adik baru saja tiba di stasiun kota setelah menempuh perjalanan dari kampung halaman. Setelah dijemput beberapa saat lalu oleh sang kakak, dua bersaudara ini berangkat bersama ke satu tujuan pertama.
Pria muda itu mau tak mau harus menyadarkan posisi adiknya yang terlihat melamun beku di tempat. "Ki, kalo nggak salah inget, cucunya Pak Yudi yang cewek itu-teman kamu di kampung yang pindah ke Bandung beberapa tahun yang lalu itu-dia juga sekolah di sana. Wah, maneh emang beruntung. Walaupun gagal masuk SMA negeri, tapi jadi juara se-STM negeri. Aa bangga boga adi sapertos maneh." Tangan kirinya menepuk-nepuk puncak kepala si adik.
Terserah. Akang emang nggak jelas, persis kata Abah, selain itu ... hobinya ngeribetin hidup saya mulu, ketempelan terus. Bisa nggak, sih? Aura istimewanya ditutup? Namun, sedetik kemudian ia teringat ucapan sang Abah, "Bantuin si Akang, kamu mewariskan kemampuan Ambu sama Abah. Si Akang cuman dapet ampasnya, meski ampas ... bukan ampas biasa. Jadi, anaking Abah kudu mampu."
Dengan sorot mata yang tajam, bibir menipis kesal, dan terpaksa menoleh ke arah yang bersangkutan karena telah diperlakukan seperti anak kecil. "Jangan mancing-mancing keributanlah, Kang!" peringatnya. Ia mendesis dengan wajah merenggut ngeri, seketika bersitatap dengan orang lain di belakang kursi kemudi. Menyesali aksinya yang membalas ucapan dari sang kakak. Kanyahoan, weh!
"Kunaon ari maneh?" Merasa dibuat terheran juga, keheranan yang tiada akhirnya. Pria muda ini mendengus tawa. "Yeuh, Herdi mah hariwang ka maneh ... ngalamun wae! Kumaha lamun aya jin asup, tah?"
Pemuda ini hanya menghela napas keras saking kesal dan tidak tahan. Buru-buru kembali menatap ke jendela mobil, dan jalanan yang dilaluinya. Seketika dirinya merasa tenang walau tak berselang lama, bisikan dingin yang membuatnya merinding mengusiknya datang.
"Bisa ninggali urang, nya?" katanya dengan gelak tawa. "Bantuan kuring atuh, bejakeun ka si Aa eta, hayu urang hirup babarengan. Ku urang dibantuan, ke di harep ku urang cilakakeun." Sosok wanita dengan rambut panjang, baju putih, dan wajah yang mengerikan dengan warna pucat pasi itu tertawa melengking.
"Nggak boleh berkata kasar, kata Abah oge!" Pemuda ini menggumam geram di dalam hatinya. Alih-alih menggubris, ia merapalkan beberapa ayat doa yang biasa dilakukannya saat 'mereka' mengganggu. Meski tak bisa mengusir untuk selamanya, meski erap kali didatangi yang seperti wanita barusan. Setidaknya dengan membacakan ayat doa ini, mereka tak akan berani melakukan yang macam-macam.
Wanita itu meringis kesakitan dan menggumamkan kata panas berulang kali. Berteriak semakin nyaring seiring ayat doa itu dirapalkan si pemuda meski dengan suara yang kecil.
"Awas siah maneh! Urang rek balik deui! Awas siah lamun panggih deui, modar maneh ku aing!" Lalu, wanita ini menghilang dari jok belakang.
"Diajar sing rajin, banggakeun Ambu jeung Abah. Ke mulangna rek dijemput ku Aa?"
Mereka tiba di depan gerbang sekolah yang luas dan menjorok ke dalam itu. Terlihat megah dengan tampilan depan sekolah yanh ciamik. Khas seperti bangunan belanda. Memang kelihatan sebagai sekolah bergengsi.
"Teu sawios. Kiki tiasa nyalira," katanya dengan datar. "Nuhun, Kang." Sedikit menunduk untuk bersitatap dengan kakaknya yang berada di kursi kemudi.
Anggukkan membalas penolakan si adik. "Pulangna mah ka apatemen Aa, nya."
"Nuhun, teu sawios. Kiki hoyong mandiri."
Si kakak berdecak kecil. "Bareng sareng Aa weh. Pokokna kedah uih ka apartemen Aa."
Si adik hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa sepatah kata. Ia segera pergi meninggalkan keberadaan mobil, serta kakaknya yang mengernyit kebingungan.
Kiki, pemuda dengan pakaian tambahan, outer dari bahan rajutan tipis itu berjalan memasuki area pintu gerbang ke-dua yang ada di dalam. Ia berbelok ke arah kiri yang merupakan sebelah barat itu untuk menyambangi sebuah ruangan. Ia berjalan tanpa rasa ragu atau dengan perasaan asing. Sebab, ia tak asing lagi.
Dikarenakan tak perlu lagi ada drama kebingungan mencari letak ruang guru atau tamu, sebab ia nyaris hapal rutenya sebab keikutsertaannya dalam lks semester lalu di sekolah ini. Lks adalah lomba keterampilan siswa, ia mengikutinya berkat kemampuannya diakui memiliki potensi. Kiki mengambil jurusan otomotif yang berkutat pada permesinan dan struktur mesin sesuai keingintahuan akan perakitan. Pada lks semester lalu, kemenangan ada di regu sekolah lamanya, walau sebagai juara dua. Ia dipilih menjadi siswa transferan berkat keterampilan, dan nilai akademik yang sangat baik untuk dikatakan sebagai siswa berprestasi. Akhirnya, ia berada di sekolah ini. SMK Taruna yang katanya bergengsi.