˗ˏˋ☕ˎˊ˗
Setelah berpamitan kepada Ambu, Kiki melangkah ke luar pelataran rumahnya. Ia berangkat sekolah pagi hari sekali, pukul enam lewat lima belas menit. Bukan tanpa alasan, sih. Sebenarnya, Kiki ada jadwal piket hari ini.
Pagi-pagi begini tidak biasanya langit tampak murung, kabut tebal juga menyelimuti jalanan yang tidak sebesar jalanan kota ini. Pemandangan pesawahan pun tertutupi kabut tebal. Entah mungkin karena hujan deras semalam, atau mungkin karena udara hari ini turun drastis? Entahlah, yang pasti Kiki tetap melanjutkan langkahnya.
Sambil bersenandung kecil, sesekali jemarinya ia jentikkan sehingga timbul nada. Kali ini, Kiki mengawali pagi harinya dengan mendengarkan musik dari saluran radio kesukaannya. Mendengarkan musik dari radio adalah hobinya sekaligus salah satu cara untuk menghilangkan jenuh atas kesendirian selama perjalanan.
Lagu bertajuk "Hati-Hati di Jalan" itu menjadi teman dalam perjalanan menuju ke sekolah. Lagu yang memiliki makna yang begitu mendalam bagi dua orang yang berbeda. Dua orang yang berbeda itu dianalogikan sebagai asam dan garam yang saling bertemu di belanga. Kiki menikmatinya sambil bergerak mengikuti ketukan nada lagu tersebut.
Berjalan dalam gelapnya kabut tebal sambil menikmati lagu membuat Kiki menjadi acuh dengan sekitarnya. Sebenarnya, ia sudah biasa melakukan hal ini, menjadikan rutinitas ini sebagai tamengnya untuk terhindar dari keisengan para roh. Kiki tiba-tiba berhenti melangkah saat lagu yang didengarkannya mendadak mengeluarkan nada-nada aneh dengan lirik yang berubah. Kiki terkejut bukan main saat itu juga, sontak melepaskan kabel headset dari sambungan ponselnya.
Bagaimana tidak? Tiba-tiba lagu yang didengarkannya seperti suara kaset rusak, atau bisa dibilang kehilangan sinyalnya, dan lagi terdengar seperti ada suara rintihan wanita. Sontak saja membuat Kiki melepaskan kabel. Akan tetapi, entah bagaimana suara radio yang sudah jelas terputus sambungannya itu kembali menyala. Menyala tanpa kabel sambungan. Dan suara dari radio itu mengatakan: "Tolong aku, Kiki." Dengan suara parau, dan tak lupa suara seperti kaset rusak yang tidak nyaman itu mengiringi keheningan di antara dirinya dan suara asing itu.
Kemudian, tepukan pada bahu kanannya membuat Kiki tersentak seketika, ia merasa bukan hanya ditepuk keras. Kiki merasa ditarik ke suatu dimensi yang entah bagaimana itu. Tubuhnya terasa jatuh dari ketinggian. Benar saja, Kiki melihat seorang perempuan terjatuh. Namun, Kiki juga merasa jika tubuhnya bergerak ikut terjatuh bersama.
༶•┈┈✧☁☂︎┈┈•༶
Kiki tersentak dan langsung bangkit. Dilihatnya tempat ia berada, ruang kelas yang terlihat asing dan tata meja yang berbeda dari ingatannya. Kiki melirik dan matanya juga berkeliling untuk memastikan. Beberapa kursi kosong, tetapi ada juga yang diduduki pemiliknya. Ada beberapa orang di dalam kelas termasuk dirinya.
"Eh, Sep!" panggilnya sambil membenarkan sabuk pinggang. "Katanya lo anak ambis, makanya lo ditransfer ke sini, tapi kok lo tiduran kayak anak malesan, sih?
"Tiduran di kelas selama jam kosong itu bukan kelakuan anak ambis, deh!" Entah apa tujuannya mengatakan hal ini, tetapi bisa diketahui jika anak ini sedang mencari perhatian Kiki. "Hehe, canda. Gimana keadaan lo?"
Kiki termenung sesaat. Menatap pemuda yang kini berdiri di samping kiri mejanya sambil sibuk merapikan diri itu. "Kamu siapa?" Menjawab dengan pertanyaan yang hanya bisa dilontarkan di saat kondisi begini. "Kenapa kamu bawa saya ke sini?" Kiki masih terbawa dengan situasi menegangkan di dalam mimpinya barusan.
Pemuda itu menghentikan pergerakan pada tangannya, kepala yang tertunduk itu perlahan terangkat, dan matanya menatap lekat ke arah Kiki. Telunjuk kanannya terangkat dan menunjuk wajah Kiki tanpa kata. Ia bergeming cukup lama sambil memasang raut tidak percaya kepada laki-laki yang setia duduk di bangku barunya itu. Wajahnya mengerut, tetapi beberapa saat kemudian ia melepaskan tawa yang nyaring. "Lo mau ngibulin gua? Humor lo itu nggak banget! Pura-pura amnesia, ya, lo?"
"Nggak! Saya serius. Kamu siapa dan apa yang mau kamu lakukan kepada saya?" Kiki tidak berekspresi berlebihan seperti pemuda asing itu. Kiki hanya menatap penuh kerutan ke arah pemuda itu. Tatapannya cukup tajam dan membuat terintimidasi.
Pemuda itu tertawa kaku. "Ha ha, iya-iya. Gue tau lo anak baru pindah, tapi nggak gini cara lo memperlakukan temen baru lo. Kita, kan, ketemu di ruang guru tadi, masa lo udah lupa?" Menjawabnya sambil mendumel pelan. "Gue Ramdani Juanda, ketua kelas 10 Otomotif 3. Lo ada di kelas kita, lo udah tidur selama sejam semenjak kelas penjas selesai. Kepala lo bermasalah, ya? Jordan lempar bola voli ke arah kepala lo tadi. Lo nggak inget? Beneran amnesia?"
"Saya-" Kiki menghentikan ucapannya, tiba-tiba ingatannya kembali sebab merasa tidak asing dengan ucapan pemuda bernama Ramdani itu. "Kamu benar, tadi saya sakit kepala dan dibawa ke kelas sama seseorang-mungkin dua orang." Kiki terdiam dan menatap kembali ke arah Ramdani. "Maaf udah salah sangka, saya cuman bingung sehabis mimpi barusan."
"Iya yang anterin lo itu Yuma sama Doni." Ramdan terdiam sesaat. "Mimpi apa lo?"
Sambil menggelengkan kepala. "Nggak ada, cuman ingatan saya pagi tadi pas berangkat dari rumah."