☁✎✉
Setiap kali Kiki melangkah, di manapun dan kapan pun. Pergerakannya tidak lepas dari para sosok yang selalu menatapnya dengan selidik. Kiki diperhatikan walau sebenarnya si ambis Kiki sudah berusaha untuk tidak peduli. Namun, mereka bisa menebaknya, Kiki berusaha untuk menyamarkan kemampuannya dengan tidak menatap ke arah manapun, melainkan kepada layar ponsel.
Perilaku Kiki persis seperti isi kutipan ini: "Ada yang membaca dosa di mataku. Ada yang membaca kebodohan di bibirku. Namun, aku tak akan menyesal. Di pagi hari yang mulai terbit dengan cerah, hujan puisi di dahiku."
Meski kelihatannya tidak gentar dan bersikap berani, Kiki tetap merasa gugup dan takut manabila—sekonyong-konyong—para makhluk itu mengejutkannya di depan umum begini. Bukan malu lagi yang akan ditanggung, tetapi para makhluk itu akan mengikutinya sampai mereka mencapai tujuan mereka. Jelas hal itu sangat tidak menguntungkan dirinya.
Laki-laki bermata bulat ini hanya bisa mendiamkannya dengan harapan: nanti juga pergi sendiri. Namun, kali ini lain dari harapannya. Sosok itu mengikutinya setelah tahu jika Kiki bisa melihat dan mampu menolong.
"Tolong saya, apa pun mau kamu asalkan bantu saya untuk balaskan dendam terhadap orang picik itu. Saya akan kabulkan permintaan kamu. Dengar, saya tidak benar-benar salah, dia penyebab saya mati menggantung diri. Kamu tau, di kamar bawah rumahmu ... itulah tempat terakhir saya. Tolong lepaskan tali itu agar saya bisa pergi."
Bibirnya berkedut, tapi hanya bisa diam dalam perasaan takut. Melangkah dengan tenang meski suara barusan mengusik pikirannya. Keringat di dahi juga mulai bermunculan dan membasahinya. Kiki mencengkeram buku yang digenggamnya sambil fokus ke jalanan menuju sekolah. Di depannya banyak sekali orang-orang yang berjalan bersama, Kiki juga sama. Ia berjalan bersama seorang pria dengan tali di lehernya. Tali yang menjeratnya sampai merenggut nyawa. Karena hal ini, Kiki menjadi perhatian makhluk lainnya dan diperhatikan sampai ke kelas.
Kiki pikir semuanya akan mudah jika ia bersikap seperti biasanya. Ya, Kiki terbiasa untuk tidak menatap ke sembarang arah, tidak asal menoleh jika namanya dipanggil. Akan tetapi, mana mungkin juga namanya dipanggil di lingkungan baru ini?
Entahlah, Kiki hanya terbiasa untuk mengantisipasikan kemungkinan terburuknya. Namun, ternyata tidak semudah yang dibayangkan! Karena bagaimana pun juga Kiki perlu mengamati lingkungan barunya terlebih dahulu. Dan caranya ini malah mengundang sesuatu yang lain untuk diamati juga. Para roh itu mengamati keberadaan laki-laki pemilik kemampuan indera ke-enam ini.
Entah karena sudah terlalu lama dicueki, atau mungkin karena hal lain, makhluk yang berwujud pria berusia sekitar kepala empat, dan memiliki tali yang mengikat lehernya itu tidak menampakkan diri lagi. Ternyata, usaha Kiki dalam mengabaikan mereka ini membuahkan hasil walau memakan banyak waktu. Selain itu, dengan tidak menanggapi ucapan mereka juga menjadi salah satu cara agar tidak lagi terpengaruh. Walau kebenarannya begitu sulit. Hal yang paling mudah dilakukan Kiki adalah mengabaikan mereka, walau terkadang hati nuraninya menginginkan hal sebaliknya.
Entah apa tujuan kalimat di atas, tetapi sepeninggalan sosok itu, inti dari berakhirnya tekanan dari sosok pria itu adalah keadaan Kiki saat ini. Ia dibuat tidak nyaman lantaran mendapatkan gambaran aneh saat mencoba untuk naik ke lantai tertinggi di gedung jurusannya. Kiki pergi ke bubungan atap untuk pertama kalinya setelah dua hari berada di sekolah barunya. Kiki tidak segera pergi ke ruang kelasnya, ia tahu jika pada pukul enam lewat lima belas ini belum tampak siapa pun. Maka dari itu, Kiki memutuskan untuk pergi berkeliling di sekitar gedung kelasnya.
Entahlah, sepeninggalan makhluk dengan rupa cukup mengerikan tadi Kiki merasa lega, tetapi tidak sepenuhnya demikian. Ketika langkahnya memijaki lantai bubungan atap ini untuk pertama kalinya, yang ia rasakan adalah kenyamanan yang tidak Kiki rasakan secara langsung. Hal ini agak sulit untuk Kiki jabarkan sendiri, tetapi Kiki sedang tidak merasakan emosinya sendiri. Ada emosi lain, sebuah energi yang memengaruhi energi Kiki saat ini, energi asing ini seakan memanfaatkan energi Kiki untuk dapat diterima oleh pemuda itu. Dengan kata lain, secara spontan Kiki menggunakan kemampuan indigonya yang mana menguras perlahan energi di dalam tubuhnya, atau mungkin tidak.
"Di sini auranya aneh, tapi anehnya kenapa saya merada nggak asing?" Setelah mengatakannya, Kiki tidak berhenti melangkah hanya karena merasakan kejanggalan. Ia tetap melangkah maju dan semakin jauh menelusuri area tertinggi di gedung kelasnya ini.
"Bangunan gedung di kota memang beda," komentarnya. Pagi ini pemandangan yang merupakan riuh pengendara di jalanan sana itu tampak tenang. Padahal di sana begitu ramai lancar, suara nyaring berupa peringatan keberadaan kendaraan tersebut membuat riuh jalanan. Laki-laki yang memiliki lesung pipi samar ini dapat mendengarkan riuhnya jalanan meski dari kejauhan. Meski dari ketinggian gedung ini.
Sejak pertama menginjakkan kakinya di lantai kosong ini, entah bagaimana Kiki mendapatkan gambaran asing, yang anehnya tidak begitu asing bagi dirinya sendiri. Gambaran asing ini mengenai dua orang, entah itu seorang perempuan atau laki-laki, tetapi Kiki bisa merasakan kehangatan di antara dua orang ini. Perasaan nyaman yang diciptakan dua orang ini membekas di tempat ini. Seperti dua orang yang tengah memadu kasih.