☁✎✉
Begitu mereka mencapai ambang pintu, langkah keduanya diadang oleh pemuda helm. Helm yang menutupi seluruh bagian wajahnya. Mengenakan jaket denim seperti Dilan, tetapi visualnya saat ini seperti Kulin saat menjadi siswa pindahan di sekolah keputraan—yang mana membuat seorang guru wanitanya sampai tidak sadarkan diri sebab melihat betapa bercahayanya seorang Kulin kala melepas helm.
"Mau ke mana lo berdua?" Melontarkan tanya kepada Kalva dan Kiki sekaligus, tanpa melepas atau membuka kaca helmnya, sehingga suaranya yang khas tidak terdengar, dan hanya menggema di dalam sana, suaranya bak teredam oleh helmnya sendiri.
"Ini, gua mau ajak Asep ke pusat makanan di sekolah." Kalva yang menjawab. "Sekalian ke lapangan belakang, ke TITL."
"Kantin maksud lo?" tanyanya. "Va, lo udah kerjain tugas Fisika dari Bu Darmi minggu lalu?" Terdiam sesaat. "Bukan anjir, tapi pas hari Selasa kemarin! Udah belom?"
"Apaan sih, lo! Nggak ada tugas Fisika deh." Kalva mencoba mengingat-ingatnya kembali. "Anjir iya! Lo kok nggak bilang di grup sih semalem? Kan, kalo kayak gini berabe kita."
Kalva bergegas masuk ke dalam kelas kembali. Ia berlarian ke arah bangkunya dan segera merogoh buku-buku yang ada di kolong meja. Mencari buku Fisika yang dimaksudkan.
"Sep, lo udah ngerjain tugas Fisika Bu Darmi?"
"Bu Darmi guru Fisika?" tanya Asep dengan polosnya.
Kalva menyahut. "Ya, iya anjir—eh, lo mah pasti belom tau, ya?" Kalva menatap Kiki dengan penuh kekecewaan dan prihatin juga dari mejanya.
Sementara itu, Kiki dan pemuda helm itu berdiri di ambang pintu. Tak lama, pemuda helm membawa Kiki masuk ke dalam.
"Bukannya hari ini nggak ada jadwal Fisika?" Kiki mengingat jadwal pelajaran yang semalam ia dapatkan dari seseorang bernama Wisnu. "Bukan, Fisika jadwalnya di jam ke-dua. Kalian bisa kerjain sebelum jam pelajarannya dimulai."
"Masalahnya, nih, Sep ...." Pemuda helm itu memulai. "Pelajaran pertama juga sama Bu Darmi. Dia guru Fisika sekaligus guru BK di jurusan kita. Cuman kelas kita aja yang diajar tiga jam sama guru yang sama, di kelas lain nggak!" Mengatakannya dengan nada yang tersulut emosi.
"Terus masalahnya apa? Bukannya itu bagus?"
"Bagus mata lo enam!" kesal. Ia melepaskan helmnya pada akhirnya, sambil mengembuskan napas panjang. "Bu Darmi ini guru paling sat set sat set, jadi, tugas di jam ke-dua bakalan dikumpulin pas jam pertama anjir!"
Kiki terdiam sesaat untuk memahami kosa kata yang dilontarkan pemuda helm, yang belum ia kenali secara tepat. "Ya, udah. Tinggal kerjain aja." Dengan entengnya. Selesai mengatakan itu, Kiki merasakan dengungan nyaring di kepalanya. Sehingga, Kiki memejamkan matanya hanya satu detik, dan kembali terjaga.
"Lo pasti udah tau, siniin punya lo! Berbagi itu indah, loh, Sep."
Kiki terdiam dengan wajah kesalnya begitu melihat visual pemuda helm itu. Bukan, bukan pemuda helm itulah yang membuatnya kesal, melainkan sosok yang tampak setelah pemuda helm itu melepaskannya, melepaskan helmnya yang ternyata menjadi tempat bersembunyi bagi makhluk itu. Setelah mengalami dengungan nyaring barusan, Kiki benar-benar kesal!
"Jangan kesel gitulah, Sep. Gua bukan Jordan, kok. Pasti si Jordan belom minta maaf sama lo, ya? Lo pasti ingetnya gua sebagai Jordan," ungkapnya, "bukan! Gua bukan Jordan, gua Jinovar, panggil aja Jino."
"Bukan itu." Menjawabnya sambil menahan sesuatu, Kiki menjawab ucapan Jinovar dengan ketus tanpa disengaja.
"Hah?" Jinovar terperangah, sesaat kemudian ia terdiam cukup lama sambil menenteng helmya di lengan kiri.