☁✎✉
Suatu hari setelah salah paham—dengan anggota kelas dan terhadap Wisnu di perpustakaan Juni lalu—terselesaikan, Kiki dan Oto-3 ada agenda festival sekolah yang membuat mereka tertahan sampai larut malam, sekitar pukul sembilan malam mereka baru bisa pulang karena acara penutupannya adalah mengundang penyanyi jebolan kompetisi menyanyi nasional itu. Sekolah setelah jam enam adalah hal baik pertama yang Kiki alami setelah tiga bulan membaur dengan sekolah barunya.
Omong-omong untuk saat ini, Kiki merasa seperti pemeran utama dari premis sebelah. Kiki duduk di tribun lapangan belakang—lapangan kedua, yang paling luas dan memiliki tribun—ditemani seorang gadis yang memiliki rambut panjang sepunggung. Gadis itu—sebut saja Fanya. Fanya ditinggal sendirian oleh temannya, Hanalya, dan ditinggal juga oleh pacarnya, Revano. Pelarian Fanya hanya sebatas sendirian di kelas, di ruang praktik, atau berdua bersama Kiki. Jadi, bisa ditebak kali ini Kiki berdua bersama gadis itu dalam rangka apa.
Seluruh penghuni sekolah tengah antusias dengan artis yang diundang dalam festival tahunan sekolah ini. Acara hut sekolah yang merangkap pula menjadi hari paling menyenangkan hati siswa Taruna. Semua orang tampaknya mengisi seluruh tribun ini, banyak di antara mereka duduk bersama kawan dan pasangan mereka. Sisanya berada di tempat lain dengan berbagai tugas yang membebani.
"Neng Aya, di Taruna memang rutin adakan kegiatan sampai larut beginikah?"
Gadis rambut panjang itu menoleh. "Nggak, sih. Sebenarnya ini mendadak, katanya untuk tutupi berita itu. Berita yang menyeret nama baik sekolah kita."
"Memangnya ada kejadian apa sebelumnya?"
Fanya menggigiti bibirnya, ragu. "Jauh hari sebelum kamu pindah ... ada kejadian di sini. Katanya, ada siswi yang nekat lompat dari atap sekolah. Masih misteri, dan ini sebenernya nggak boleh diceritakan. Makanya, pihak sekolah adain acara seperti ini. Untuk nggak bikin siswa mereka merasa tertekan karena sekolahnya pernah terjadi kasus yang cukup ... ya gitu. Nutupin rumor yang sempet beredar.
"Eh, Ki, aku mulai coba main sepatu roda, lho! Mulai tertarik mainkan benda-benda yang ada rodanya lagi. Dan, kamu tau siapa yang bikin aku tertarik lagi? Revano, Ki. Aku seneng banget kalo orang itu dia." Pancaran matanya sangat bertolak belakang dengan apa yang diucapkannya barusan.
Kiki melihat pancaran mata itu dari samping, matanya yang berkaca-kaca meski di tribun ini tidak begitu terang benderang, Kiki bisa melihatnya dengan jelas. Kedua matanya tidak rabun, dan dia tidak ingin menampik perasaannya sendiri bahwa ia khawatir. Meski begitu, Kiki memaksakan diri untuk tersenyum. "Kenapa tiba-tiba berani lagi? Saya tau kalo Neng Aya belom sembuh dari kelihatannya. Saya tau, Neng Aya. Jangan sembunyikan apa pun dari saya, kamu sendiri yang bilang begitu."
Nama panggilan kecil itu, 'Neng Aya'. Fanya menahan senyumnya. "Ah~, curang! Padahal aku berusaha untuk jadi misterius di depan kamu. Aku berusaha bahagia dengan hubunganku dengan Revano di hadapan kamu. Aku nggak bohong, aku emang bahagia—walau rasa takut itu, rasa takut yang aku sendiri nggak tau takut sama apaan?"
"Neng Aya," kata Kiki, "kamu itu istimewa, oke! Sama halnya dengan kamu bilang kepada saya bahwa saya juga istimewa. Kamu juga begitu. Semua rasa takut yang dirasakan mungkin bikin ganjalan di hati, tapi mengenai Neng Aya—semua rasa takut Neng Aya itu nggak nyata. Semuanya udah berlalu, dan sekarang kamu baik-baik aja. Ingat kata-kata saya itu, ya!"
"Ki, kamu jangan kayak Revano, dong! Aku jadi pengen nangis tau. Kenapa semua orang yang kusayang pergi jauhin aku, sementara kamu nggak?" Di akhir kalimatnya, ia melihat Kiki menatapnya penuh tanda tanya. Fanya mengalihkan pandangannya ke samping kanan cukup lama, dan membisu.
Pertanyaan yang dikeluarkannya membuat Kiki membatu. Bahkan suara isakan lirih itu bisa didengarnya di tengah alunan musik yang dibawakan artis nasional itu. Artis wanita jebolan ajang bakat menyanyi, Zyva.
"Saya lihat hantu lagi, lho!" kata Kiki dengan nada sedih. "Kenapa mereka selalu datangin saya ketika saya ingin menikmati diri sebagai manusia normal? Kenapa saya—seakan-akan—disuruh untuk menjadi manusia nggak normal pada umumnya? Saya kesel banget dideketin sama hantu-hantu yang dulu pernah Neng Aya maki-maki itu." Kiki terdiam, ia menatap punggung gadis di sampingnya. "Neng Aya, bisa maki-maki mereka buat saya lagi nggak? Saya udah muak ini. Saya ... takut."
Kiki melanjutkan ucapannya di dalam hati. "Maaf saya berbohong sama Neng Aya, tapi ... saya harus buat dia ceria kembali karena itu jati diri dia. Perempuan yang belakangan menjadi bahan cemooh ini, yang sempat diceritakan Ramdani pada hari pertama saya tiba di sekolah ini, perempuan yang terlihat tangguh, tetapi lihat sekarang ... dia nggak jauh beda dengan perempuan yang membutuhkan dukungan di tengah sorakan kebencian.